Monday, 31 December 2012

Negeri Permata

Aku tinggal di sebuah negeri yang indah. Matahari bersinar cerah ketika pagi tiba, cahayanya yang jingga memancar menerabas setiap celah yang dilaluinya. Embun yang menempel pada ujung dedaunan berkilau ketika terkena sinarnya. Sungguh indah dan segar jika kau menghirup udara di sini. Langitnya berwarna biru cerah dengan awan putih yang bergerumul menggemaskan. Ahh... aku suka pagi hari. Tapi entah kenapa ketika hari beranjak siang cahaya di sini menjadi semakin redup. Mungkin hanya beberapa jam matahari bersinar, setelah itu suasana mulai redup.

Tak jauh dari perkampungan tempat kami tinggal terdapat pegunungan dan kawasan hutan yang penuh dengan pepohonan hijau. Kakek pernah bercerita di puncak gunung itu terdapat suatu cekungan yang berisi permata. Katanya permata itu sumber cahaya kehidupan di sini yang diambil dari jiwa-jiwa makhluk mulia yang diciptakan Tuhan. Aku kurang tau seperti apa sosok makhluk mulia itu. Kata Kakek sekarag permata itu semakin redup, entah karena apa, mungkin makhluk-makhluk mulia itu sudah jarang memancarkan jiwanya, sehingga permata kurang mememancarkan cahayanya lagi. Mungkin juga itulah sebabnya matahari meredup.

Berbicara tentang Kakek, aku lupa akan membantunya mencat rumah hari ini. Kakekku tinggal di seberang sungai di sebuah padang rumput yang luas dan dipenuhi bunga warna-warni. Aku harus buru-buru ke sana, sebelum matahari sampai di puncak tertinggi, dan cahayanya mulai redup kembali.

Kakekku sudah tua, tetapi ia masih kuat dan gagah. Aku akan betah berlama-lama di rumahnya karena Kakek sering berdongeng dan bercerita seru lainnya. Kemarin Kakek bercerita tentang sebuah keluarga yang tinggal di dalam hutan, dan sekarang Kakek berjanji akan bercerita tentang makhluk mulia itu padaku. Aku sudah menagihnya dari sekian lama, tapi baru kali ini Kakek mau menceritakannya padaku. Aku berjalan tergesa menyebrangi jembatan di sungai, tak sabar mendengar cerita Kakek.

Aku menghampiri Kakek yang sedang mencat kayu dinding rumah. “Oh, kau sudah datang Ray.” Kakek menoleh ke arahku. Aku tersenyum menanggapi.

“Nanti aku mau dengar cerita Kakek tentang makhluk mulia itu.” Aku berujar riang, yang disambut Kakek dengan senyuman.

“Tentu saja. Sekarang kau beri makan saja dulu Si Cabit. Dia belum makan dari pagi.” Kakek menyuruhku memberi makan binatang peliharaannya.

“Iya Kek!” ujarku seraya memasuki rumah.

Rumah Kakek kecil tapi nyaman untuk ditinggali. Semuanya tertata rapi dan bersih, walaupun hanya tinggal sendiri―karena nenek sudah meninggal―Kakek sangat pandai mengurus rumah. Aku melihat Cabit sedang meringkuk di bawah meja kayu ruang makan. Cabit bukan kucing―aku  memelihara kucing―juga bukan kelinci―temanku Sera memelihara kelinci―tapi Cabit ini spesies hewan berbadan kucing bertelinga kelinci, sangat menggemaskan menurutku. Badannya gemuk dengan mata hijau menyala, telinganya bergerak-gerak lucu, dan kulitnya berbagai warna, putih, hijau dan biru. Cabit pemakan rumput seperti kambing dan herbivora lain.

Aku mengambil sejumput rumput segar yang sepertinya baru Kakek petik tadi pagi, yang Kakek simpan di dalam lemari penyegar. Aku mengmabil tempat makan Cabit berupa mangkuk besar, mengisinya dengan rumput dan menyimpannya di depan Cabit. Binatang itu mengendus sebentar, lantas mulai memakan makanannya. Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya itu. Cabit buta. Dibalik mata hijau menyalanya itu, ia tak bisa melihat apapun.

Cahaya mulai redup, padahal baru jam sebelas siang. Kunyalakan lampu tempel di rumah Kakek sehingga ruangan kembali terang. Aku beranjak keluar rumah meninggalkan Cabit yang tengah asik makan.

Kakek sudah selesai mencat, ia duduk di kursi panjang depan rumah, meminum teh sambil memandang langit yang cahayanya meredup. Aku mendekatinya, lantas duduk di sampingnya.

“Kek,” ujarku pelan, tapi cukup terdengar oleh Kakek. “Ayo ceritakan sekarang.” Aku memandangnya penuh harap.

Kakek menyimpan cangkir teh pada kursi di sampingnya, menoleh, mengusap pelan kepalaku, lalu tersenyum. “Iya, Kakek akan ceritakan makhluk mulia itu.” Aku tersenyum senang, Kakek mengalihkan pandangannya memandang hampa pegunungan yang menjulang tinggi di depan kami.

“Dulu sebelum semua alam terbentuk, Tuhan menciptakan semua makhluk untuk tinggal di surga. Dari berbagai elemen kita diciptakan. Malaikat dari cahaya, setan dari api, manusia dari tanah, dan kita dari angin. Kami dikumpulkan untuk diberi gelar masing-masing, dengan sebuah ujian yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Waktu itu Tuhan berkata ‘Barang siapa yang bersedia mengemban tugas sebagai wakil-Ku di muka bumi, akan Aku beri gelar makhluk mulia. Mereka akan diberi hawa nafsu yang harus mereka kendalikan sendiri. Jika berhasil mereka akan kembali ke surga, tetapi jika lalai dalam tugasnya, neraka-Ku sudah menanti dengan apinya yang menyala-nyala.’

“Tak ada satupun dari kami yang bergeming waktu itu. Kami tau bagaimana liciknya nafsu. Mereka akan memainkan perasaan setiap pemiliknya, mengombang-ambingkannya dalam keraguan, dan tentu saja kami tau bagaimana pedihnya neraka. Tapi di tengah keheningan itu, salah satu dari kami, yaitu manusia dengan tegap dan gagah berani berkata, ‘Aku siap.’ Kami semua tercengang. Tapi Tuhan tersenyum dan berkata ‘Aku nyatakan kau sebagai makhluk mulia mulai detik ini. Mari beri ia penghormatan.’ Kami semua memberi hormat pada manusia saat itu, kecuali setan yang sombong dan angkuh. Marahlah Tuhan dan mengusir setan sebagai penghuni neraka. Kami semua tau, penghuni neraka berarti pengasuh nafsu, dan jadilah setan menyuruh nafsu untuk menggoda manusia.”

Aku terdiam mendengar cerita Kakek. “Jadi makhluk mulia itu manusia? Lantas kenapa kita tidak meminta manusia supaya memberikan kembali cahaya pada permata kita?”

Kakek tersenyum kecil, memandangku, “Sulit. Sangat sulit. Manusia sudah lupa akan tugasnya sebagai wakil Tuhan. Sekarang mereka malah menjadi wakil setan di muka bumi. Jiwa mereka mulai kotor dengan tingkahnya yang hampir menyerupai binatang. Bahkan sebagian dari mereka sudah tidak malu lagi berkeliaran tanpa memakai baju. Itulah yang menyebabkan negeri kita menjadi temaram.”

Aku tercengang.  “Lalu? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Mungkinkah kita bisa mengadu pada Tuhan tentang semua ini? Meminta Tuhan supaya permata itu tidak diisi dengan jiwa-jiwa manusia lagi, bisakah kita melakukan itu?”

“Tidak Ray.” Kakek menggeleng. “Gelar itu hanya diberikan satu kali sepanjang masa, dan permata itu hanya bisa diisi oleh jiwa yang memiliki gelar mulia.”

“Jika semua ini terus berlangsung, maka keindahan cahaya tidak akan terasa lagi, dan suatu saat bisa saja negeri ini menjadi temaram selamanya. Lalu apa yang harus kita lakukan?” Aku berujar cemas.

“Ya. Yang harus kita lakukan sekarang, hanya berdoa supaya manusia kembali sadar akan tugasnya sebagai wakil Tuhan, bukan wakil setan.” Kakek berpaling ke arahku, lantas tersenyum. “Sudahlah. Tidak usah kau pikirkan terlalu dalam. Ayo! Kita memancing di sungai, kakek sudah buat pancingannya.”

Aku mengangguk antusias. Aku suka memancing. Menunggu ikan-ikan menggemaskan memakan umpan itu menegangkan, membuat jantung kita berdetak lebih cepat, mengangkatnya, membakarnya, lalu memakannya selagi hangat. Rasanya menyenangkan. Kami berdiri mengambil pancingan dari gudang sebelah rumah Kakek, lalu berjalan beriringan menuju sungai dalam sinar matahari yang meredup.*

No comments:

Post a Comment

Gomawo~