Monday 17 March 2014

Negara Ini

Mata itu  tak berekspresi. Tatapnnya kosong seperti beberapa jam lalu, memandang datar gerak-gerik seorang lelaki di hadapannya. Ia tetap bergeming, membiarkan lelaki itu terus bergerak dan berceloteh tak karuan.

“Kamu tau kenapa negara ini tak pernah maju?” Setelah sekian lama bungkam akhirnya wanita itu bersuara, tetap dengan tatapan kosongnya.

“Eh? Aku tak peduli sama negara ini sayang, aku cuma peduli sama kamu,” ujar lelaki di hadapannya seraya mengulurkan tangan mengelus wajah wanita itu, nafasnya terengah.

Wanita itu tersenyum sinis, lantas melirik sekilas pada jam dinding di hadapannya. Dua belas lebih sepuluh. Dengan gerakan cepat ia mendorong lelaki di hadapannya yang hendak menciumnya kembali. “Sudah dua jam. Sesuai kesepakatan. Aku selesai.” Perempuan itu berdiri, beranjak menuju lemari di samping ranjang, lantas memakai baju yang tergeletak di sana. “Thanks,” ujarnya sambil mengacungkan sebuah amplop tebal berisi uang kepada lelaki yang masih tampak lapar di atas ranjang.*

Saturday 15 March 2014

Aku Hanya Angin

Mungkin hujan kemarin meluruhkanmu. Mendesak asamu yang selalu terjaga. Aku hanya angin yang lewat bersama hujan. Menerpamu tanpa berpikir apa-apa. Aku bilang, aku hanya angin... yang ikut mencari kata dalam serpihan lara.

“Aku tidak memaksamu,” katamu waktu itu. Aku hanya terdiam, bahuku berguncang, luruh bersama hujan.

Apa katamu tadi? Aku tidak memaksamu? Kau yang memaksaku bangsat! Memeras ragaku yang tak berdaya.

“Aku hanya memintamu untuk tidak lari,” ujarku bergetar. Aku benci ini, ketika terlihat lemah dihadapnmu. Saat ini aku hanya ingin menerkammu, membunuhmu dalam bisu.

“Aku tidak lari. Aku hanya belum sanggup memikul bebanmu,” ujarmu tak berperasaan. Lalu... kau bersedekap dihadapanku, seolah aku ini tersangka satu-satunya. Katamu bebanku? Ini bebanmu bangsat! Aku yang kau paksa untuk memikulnya. Kau tau? Saat ini aku benar-benar ingin mengulitimu hidup-hidup.

Metamirfosis Cahaya

Tebing ini begitu tinggi. Aku berdiri di atasnya dalam keremangan. Memandang padang pasir yang terhampar luas. Kosong. Hanya ada tumpukan pasir yang menggunung. Tertiup angin, menggeser, dan membentuk tumpukan baru. Entah berapa lama aku hanya terdiam. Menyaksikan siklus yang terkesan monoton ini.

Hingga muncul setitik cahaya menyilaukan mata. Dia bergerak cepat. Membentur tebing. Memantul. Menyebar. Menerangi padang pasir. Sekumpulan akar kering ditepi tebing mengeras. Saling membelit, merambati padang pasir. Melahirkan biji-biji kehidupan yang tumbuh diatasnya. Memberinya rumput hijau dan padang bunga segala warna. Memberinya pohon-pohon rindang menyejukkan setiap jiwa.

Cahaya itu bermetamorfosis. Membentuk berbagai warna. Bersatu, melengkung, membuat setengah lingkaran. Aku terpana menatap metamorfosis padang pasir. Inikah keajaiban cahaya? Memberi kehidupan pada setiap ketandusan. Memberi pencerahan pada setiap kegelapan. Aku berlutut, menunduk, mengucap puji berkali-kali. Ia telah datang dengan cahaya-Nya. Dan ijinkan aku memeluknya dalam cinta.

Friday 14 March 2014

Baik-baik Saja


“Dia terlihat kacau saat tampil tadi.” Rena tiba-tiba muncul, langsung duduk di sampingnya. “Apa dia sakit?” ujarnya kembali karena tak kunjung mendapat tanggapan.

“Tidak. Aku yang sakit, bukan dia.” Hima berujar lemah.

“Oh ya? Tadi sebelum tampil ia sempat mencarimu.”

Hima hanya tersenyum tipis.

“Kenapa? Kalian bertengkar?” Rena kembali berujar seraya mengubah posisi duduknya, sedikit mencondongkan badanya ke arah Hima. “Apa koki itu datang lagi membawa masakan yang ia banggakan?”

Hima melayangkan tatapan tajam pada sahabatnya itu. “Dia baik-baik saja, dan aku juga baik-baik saja. Jadi aku mohon, jangan bicarakan wanita itu dihadapanku oke?” ujarnya ketus.

Rena mengangguk-anggukkan kepala, mengerti dengan apa yang terjadi.

Hujan Malam Itu

Terkuak sudah semuanya. Malam itu di tengah guyuran hujan yang bertalu-talu memukul atap rumah, seorang gadis berseragam kantoran berdiri kaku di ambang pintu kamar. Air mata menggenangi pelupuk matanya yang sedikit sipit. Berdesakan, memaksa untuk dikeluarkan.

Detik pertama. Ia masih bergeming menatap kecewa sekaligus benci dua orang di hadapannya yang sibuk menutupi diri dengan selimut. Detik kedua. Pipinya yang tirus mulai basah oleh air mata.

“Dasar berengsek!” Detik ketiga ia meneriakkan semua amarahnya.

Gadis itu membanting pintu di hadapannya, lantas beranjak pergi dari sana dengan langkah tergesa. Malam itu, ia mengerti bagaimana rasanya dikhianati teman sendiri.
Gomawo~