Sekolah itu masih terlihat cukup ramai, padahal jam sekolah sudah usai dari setengah jam lalu. Beberapa anak berseragam putih merah masih terlihat berkeliaran di sekitar sekolah, sebagaian bergerombol di penjual makanan ringan, sebagaian di penjual mainan, sebagian hanya duduk-duduk di koridor menunggu jemputan, dan beberapa lagi asik berkejaran di halaman sekolah. Agni, seorang gadis berusia dua puluh lima tahun yang merupakan guru honorer di sana, sibuk membereskan barang-barangnya yang masih berserakan di atas meja.
Gerakan tangannya terhenti ketika suara Lena, salah seorang guru di sana menyapa pendengaran. “Pangeranmu dateng tuh,” ujarnya seraya tersenyum menggoda. Keduanya menoleh, memandang seorang lelaki yang baru saja keluar dari mobil yang terparkir di depan sekolah.
Agni hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan temannya itu. “Bukan pangeran, hanya teman dekat.”
“Iya, temen deket. Cuma udah pada pake cincin di jari.” Lena kembali menggoda Agni yang lagi-lagi hanya ditanggapi senyuman. “Udah balik sana. Udah nungguin tuh pangerannya.” Lena kembali berujar.
“Aku pulang duluan ya Len. Siang,” ujar Agni, tersenyum sekilas pada Lena sebelum meninggalkan ruang guru.
Gadis itu berjalan pelan melintasi halaman sekolah. Di depannya, Raffa, lelaki yang disebut-sebut Lena sebagai pangarannya tengah bersandar pada mobil, memeperhatikan sekitar, yang entah apa. Agni menghela napas pelan. Hampir semua orang menyebut Raffa sebagai ‘pangerannya’, yang nyatanya mereka hanya sepasang manusia yang terikat oleh sebuah cincin dan perkataan orangtua.
Agni tersenyum tipis ketika Raffa melemparkan pandangan ke arahnya, gadis itu hendak mengucapkan kalimat, “Maaf menunggu lama” ketika sebuah tangan kecil mengenggam tangannya.
“Ibu... Dio rusakin gitar aku Bu.” Suara cempreng kecil yang berasal dari anak berseragam putih merah itu membuatnya menoleh.
“Ayo Bu... di sana.” Gadis kecil yang menarik-narik tangannya itu sedikit menyeret Agni supaya bergegas mengikutinya. Agni menatap sekilas Raffa yang juga menatapnya bingung, lantas beranjak mengikuti langkah kecil gadis berseragam SD itu.
“Itu Bu... gitar aku kan jadi gak bisa dipake. Tadi Dio mutusin senarnya.” Gadis kecil itu kembali berujar. Menunjuk anak laki-laki seumurannya yang tengah duduk di lantai depan kelas, memangku gitar yang salah satu senarnya putus.
Anak laki-laki yang bernama Dio itu mendongak, sedikit takut memandang Agni, yang terkenal sebagai guru yang cukup galak di sekolah. “Tapi tadi Dio udah minta maaf. Kan gak sengaja.”
Agni menghela napas pelan, memandang keduanya, lantas ikut duduk di samping Dio. “Coba Ibu liat gitarnya.” Agni sedikit bisa bermain gitar, Raffa sempat mengajarinya beberapa kali, tapi ia tidak tau banyak mengenai cara memperbaiki gitar.
“Apanya yang rusak?” Suara berat itu tiba-tiba muncul, menyapa pendengaranannya. Agni cepat-cepat menoleh, dan mendapati Raffa tengah berjongkok di sampingnya. Lelaki itu tersenyum sekilas ketika mata keduanya beradu pandang.
“Oh senarnya putus.” Lelaki itu kembali berujar, sebelum ada suara yang menjawab pertanyaan sebelumnya.
“Mau Kakak betulin senarnya?” Raffa memandang Dio dan gadis kecil di samping Agni bergantian.
Kedua bocah SD itu mengangguk bersamaan. Raffa tersenyum tipis melihatnya. “Bentar ya, Kakak bawa senarnya dulu.”
“Bolehkah?” Raffa menunjuk gitar yang dipegang Agni, bermaksud mengambilnya.
“Mmm...” Agni yang belum tersadar dengan situasi yang terjadi memandang Raffa yang sebelah tangannya terulur meminta gitar itu untuk berpindah tangan. “Ah... ya... ini,” ujarnya sedikit tergagap.
“Makasih.” Raffa kembali berujar sebelum melangkah menjauhi mereka bertiga dan berjalan sedikit cepat menuju mobilnya.
Selang beberapa menit Raffa kembali dengan gitar yang sudah ia perbaiki. “Ini gitarnya. Hati-hati ya pakenya, jangan sampe putus lagi.” Raffa tersenyum seraya menyerahkan gitar itu pada gadis kecil di samping Agni.
“Ibu pulang dulu ya. Kalian jangan terlalu siang pulangnya.” Agni berdiri seraya menepuk-nepuk roknya yang terkena butiran debu di lantai. Kedua muridnya mengangguk bersamaan.
Raffa sudah berjalan duluan, ketika Agni hendak beranjak mengikuti Raffa, sebuah tangan kecil menahan tangannya. Agni menoleh menatap gadis kecil itu yang tengah tersenyum polos. “Pacarnya ya Bu? Cakep.” Gadis kecil itu tertawa kecil setelah mengucapkannya. Agni hanya tersenyum menanggapi.
“Sudah ya Ibu pulang dulu.” Agni mengusap pelan kepala gadis kecil itu yang masih cekikikan.
***
Ruang mobil seolah terasa sempit dan kaku, ketika tak satupun ada yang berbicara. Hanya terdengar suara mesin yang bergetar, serta alunan lagu dengan volume sedang yang terdengar mengalun memenuhi ronga-rongga udara yang sebenarnya masih banyak tersisa.
Sedikit-sedikit Agni menatap Raffa yang tengah menyetir dalam diam. Ia menghela napas pelan. Ini hampir seminggu ia dan Raffa bertunangan. Ia sendiri tak tau apakah ini pertuangan paksa atau bukan, yang ia tau semenjak SMA Raffa sering berkunjung ke rumahnya, entah menemui Ibu, Ayah, Kakaknya, atau dirinya. Ia juga sering berkunjung ke rumah Raffa, tentu saja Ibu yang menyuruhnya, untuk sekedar menemui Om Aji, Ayah Raffa, atau hanya sekedar memberikan makanan kecil ke sana. Selama itu ia sama sekali tak memikirkan mengenai pertunangan, ia hanya menuruti perintah Ibunya untuk berkunjung rutin dua minggu sekali ke sana.
Ia bahakan sama sekali tidak curiga ketika hampir tiap hari Ibunya berkata, “Kalo Raffa melamarmu, kamu jangan nolak ya, Raffa anak yang baik, Ibu akan senang kalo Raffa jadi mantu Ibu.” Waktu itu ia hanya menanggapinya dengan tertawa kecil dan perkataan, “Ibu ini ada-ada aja.”
Ia baru menyadari seminggu yang lalu, ketika Raffa dan Ayahnya datang ke rumah, berpakaian rapi serta membawa bingkisan yang cukup banyak. Ia sadar apa maksud ucapan Ibunya ketika Om Aji memintannya menjadi istri Raffa, yang disusul dengan Raffa membuka kotak beludru yang berisi sepasang cincin di dalamnya. Agni bisa melihat tak ada senyum dari pemuda itu selama acara berlangsung.
“Kamu masih ingat yang Ibu katakan kan sayang?” Agni mendengar suara Ibunya berbisik disampingnya. Tentu saja, bagaimana ia bisa lupa jika Ibunya terus mengatakan itu hampir setiap hari.
Raffa yang semula bersikap biasa saja padanya, kini seolah tak pernah saling mengenal setelah pertunangan itu berlangsung. Agni tak tau apakah rumah tangganya akan baik-baik saja jika ia menikah dengan Raffa nanti. Ia sendiri semakin cemas karena acara pernikahan itu akan berlangsung minggu depan. Ia selalu bertanya-tanya apa gerangan yang membuat Raffa bersikap begitu dingin padanya. Apakah karena pertunangan ini? Apakah salah dirinya jika pertunangan ini berlangsung dan Raffa tidak mencintaianya? Lantas kenapa lelaki itu melamarnya jika ia tak menginginkan pernikahan antara mereka terjadi? Semua pertanyaan seolah saling berebut tempat di kepala gadis itu.
“Kita gak langsung pulang. Tadi ayah nyuruh aku nemenin kamu lihat gaun pengantin.” Suara Raffa memebuyarkan lemunan Agni.
“Eh?” Agni hendak bertanya apa yang barusan Raffa katakan, ketika ia menyadari ini bukan jalan menuju rumahnya. Ia baru ingat tadi Ibu menyuruhnya melihat gaun pengantin yang telah dipesan beberapa waktu lalu bersama Raffa.
“Ah... ya...” Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
Agni menatap Raffa sekilas yang masih dengan tatapan kosong memandang lurus ke depan. Ia hanya bisa tersenyum tipis dan menghela napas lelah ketika pikirannya menjelajah membayangkan pernikahannya kelak.*
No comments:
Post a Comment