Sang Pembuka
Malam itu tak ada yang berbeda. Hanya hening. Dengan panorama langit malam penuh bintang serta sedikit musik dari para binatang malam yang saling bersahutan. Cahaya bulan tidak begitu terang, sedikit terhalang awan tipis, seolah ingin memberi kesan mistis bagi siapa saja yang melihat. Angin berhembus pelan, hanya membuat jendela-jendela rumah yang tidak tertutup berkerit kecil. Hanya malam yang normal seperti biasanya.
Sampai keheningan itu musnah ketika suara melengking memekakan telinga tiba-tiba bergaung dalam udara. Suara yang berasal dari salah satu rumah penduduk Hurein, melengking seperti suara jeritan anak kecil. Rumah bercat hijau tua yang jauh dari kata megah itu berkelap-kelip heboh. Warga yang mendengar suara lengkingan segera keluar rumah, bergegas pergi menuju rumah bercat hijau tua.
Mereka berkumpul membentuk sebuah lingkaran. Kantuk yang mendera mendadak hilang. Di tengah mereka sebuah benda bulat seperti mutiara besar dengan bingkai perak disekelilingnya masih berkelap-kelip dan mengeluarkan lengkingan panjang. Ketika benda itu berhenti melengking, keheningan kembali melanda. Tak ada seorang pun yang berani bicara. Hanya suara desahan napas lelah dan tegang yang terdengar. Wajah mereka menegang memandang benda itu. Kemudian suara besar dan serak terdengar menggelagar.
"Sang Pembuka telah lahir malam ini. Kaum Barbush akan membuka rumahnya."
Suara itu lenyap begitu saja, keheningan kembali melanda. Wajah mereka masih tegang, tapi ada secercah harapan dalam benak mereka.
Empat belas tahun berlalu. Tak banyak perubahan pada penduduk Hurein. Mereka tetap ke kantor, sekolah, atau ke ladang untuk memetik hasil panen.
Jauh di tengah desa Hurein, seorang anak laki-laki menggerutu kesal. Tangannya memegang kapur tulis. Tulisan 'Saya Tidak Akan Memalak Teman Lagi' hampir memenuhi papan tulis di hadapannya. Satu kata lagi dan dia sudah memenuhi papan tulis dengan tulisan tangannya. Begitu selesai dia langsung melempar asal kapur tulis yang tadi dipakainya untuk menulis. Lantas ia menjatuhkan badan ke lantai. Meregangkan otot tangan dan kaki yang seolah kaku.
Seorang pria tinggi kurus dan tanpa ekspresi mendekatinya, "Bangun!". Anak itu memandang sebal pria di hadapannya sebelum akhirnya ia berdiri, menatap tajam pria itu seolah hendak menantang bertarung.
"Ozy. Catatan pelanggaranmu sudah sangat banyak. Kalau kau memalak temanmu lagi atau melakukan pelanggaran sekolah lain, Bapa akan memanggil orangtuamu." Pria itu berujar dengan sebuah buku tebal di tangan, memandang Ozy sekilas, lantas kembali duduk di meja. "Sekarang kau boleh pulang." Tanpa berkata apa-apa lagi Ozy menyambar tasnya dan berjalan meninggalkan kelas.
Di depan kelas, Ray dan Acha, dua orang temannya sudah menunggu. Begitu melihat Ozy keluar, mereka menariknya dan menyeret Ozy menjauhi kelas. "Apa yang dilakukan orang itu padamu? Kami tak bisa masuk untuk membantu. Ia terus berjaga di sana," kata Ray setelah mereka cukup jauh dari ruang kelas.
"Ray! Sudah kubilang berkali-kali, jangan menyebut guru dengan sebutan 'orang itu'. Itu tidak sopan kau tau!" bentak Acha.
"Menurutku itu cukup sopan. Daripada aku memanggilnya Si Duta atau Si Kerempeng? Kau suka yang mana?" Ozy ikut berujar.
Acha melotot kesal. "Tak ada yang bagus dari kedua pilihan itu. Tak bisakah kau memanggilnya Pak Duta?"
"Sebenarnya bisa. Tapi sayangnya aku tidak mau." Ray berujar ketus.
"Kau itu se..." Belum sempat Acha menyelesaikan kalimatnya Ozy memotong.
"Sudahlah. Jangan berbicara dia terus, aku sudah bosan mendengarnya. Sekarang sebaiknya kita cepat-cepat ke rumah Acha. Aku sudah lapar, pasti Bibi Risa sudah masak banyak." Ozy berujar santai.
Acha mendelik kesal, lantas menghela napas. "Baiklah. Ayo berangkat."
Mereka berjalan menuju tempat parkir, mengambil sepeda mereka, dan berlomba siapa yang duluan sampai di rumah Acha. Mereka memang selalu makan siang di rumah Acha. Karena menurut Ray dan Ozy masakan Bibi Risa―mamahnya Acha―enak. Dan siapa yang duluan sampai dari lomba sepeda, ia akan mendapat setengah porsi makanan penutup makan siang dari masing-masing yang kalah.
Ozy dan Ray melaju cepat. Di belakang mereka Acha lumayan tertinggal jauh. Acha terus mengayuh sepeda sekuat tenaga. Dia memang sering kalah dalam hal ini, dan terpaksa harus memberikan setengah porsi makanan penutupnya. Tapi kali ini dia tak akan memberikan puding cokelat dan jus pelangi yang dibuatkan mamahnya untuk makan siang ini. Dia berusaha mengayuh sepeda dengan cepat, dia sudah dekat dengan Ray dan Ozy. Acha mempercepat laju sepedanya.
Acha hampir meabrak pagar rumahnya begitu ia mengerem sepeda. Ia membuka mata yang sempat terutup ketika mengerem tadi. Dan betapa senangnya dia, bahwa dia yang memenangkan lomba sepeda kecil-kecilan itu. Acha membalikkan badan, Ozy dan Ray menghampirinya.
"Aku menang!" seru Acha senang. "Sayang sekali ya. Padahal ibuku hari ini membuat puding cokelat dan jus pelangi. Dan sesuai kesepakatan! Kalian harus memberikan setengah porsinya padaku," ujar Acha ceria. Terbayang dalam pikirannya, puding cokelat buatan ibunya dan jus pelangi warna-warni siap menunggu. Dia melangkah semangat menuntun sepedanya lantas disimpannya di garasi kecil samping rumah. Sementara di belakangnya Ray dan Ozy berjalan lesu. Bayangan puding cokelat dan jus pelangi di benak mereka sangat jelas, dan mereka hanya akan mendapat setengah porsi saja.
Setelah menyimpan sepeda, mereka langsung menyerbu ruang makan rumah Acha dan melemparkan asal tas mereka di sofa ruang tamu. Dari dapur terlihat Bibi Risa membawa piring berisi banyak makanan.
Bibi Risa seorang wanita paruh baya, tapi masih terlihat cantik. Wajahnya sangat mirip Acha. Dia memakai celemek yang biasa digunakannya ketika memasak. Bibi Risa menghampiri mereka yang sedang merapikan meja makan.
"Ozy, nanti malam kau ulang tahun kan? Kalau tidak salah yang ke empat belas?" tanya Bibi Risa pada Ozy sambil meletakkan piring berisi makanan di atas meja.
"Iya. Kami hanya mengadakan makan malam seadanya dan mengundang beberapa tetangga saja. Bibi juga diundang, tapi kami tidak membuat undangan. Tadi Ibu menyuruhku memberitahu Bibi," jawab Ozy. Bibi Risa mengusap pelan kepala Ozy.
"Iya, nanti Bibi dan Acha pasti datang. Ayo, sekarang makan dulu. Bibi mau ke belakang," kata Bibi Risa, lalu masuk lagi ke dapur.
Selama makan Ozy malah memikirkan apa yang akan diterimanya pada malam ulang tahunnya nanti. Ozy ingat ketika Acha memberi Ray boneka kodok waktu ulang tahun Ray dua bulan lalu. Waktu itu Ray malah marah-marah, tak terima dirinya dikatakan mirip boneka itu oleh Acha. Acha sendiri sebentar lagi akan ulang tahun, empat bulan lagi setelah ulang tahun Ozy.
Setelah makan dan mencuci piring, mereka bermain di kamar Acha. Kamarnya cukup luas, dindingnya dicat merah muda dan merah yang saling berseling. Buku di atas meja belajar yang terletak di sudut kamar tertata rapi. Di samping tempat tidur dengan seprai 'winni the pooh' terdapat sebuah rak berukuran sedang yang dipenuhi buku-buku. Ray selalu pura-pura muntah ketika melihatnya.
"Kalau kalian bukan temanku dari bayi, aku gak bakal ngijinin seorang cowok pun masuk kamarku," kata Acha.
"Sudahlah. Aku bosan dengar kata-kata itu tiap kali kita kesini," komentar Ray. Acha mendengus kesal, lalu membuka pintu kamarnya.
Ozy menyerobot masuk dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Dia merasakan atmosfer kamar Acha yang berbeda dengan kamarnya yang berantakan. "Eh. Kak Cakka mana?" tanyanya pada Acha.
"Palingan di rumah Kak Gabriel, atau kalau gak, di rumah Kak Debo," jawab Acha.
Mendengar nama Cakka, Ray jadi teringat kakaknya. "Eh Cha! Kayanya bentar lagi kita bakalan jadi keluarga deh," kata Ray.
"Keluarga? Kita kan gak ada hubungan saudara. Keluarga dari mana?" tanya Acha bingung.
"Ya ampun. Kau tak tau? Kemarin aku denger Kak Cakka ngajak Kakakku kencan malam minggu besok."
Acha dan Ozy menatap Ray. "Masa sih? Kak Cakka ngajak Kak Agni kencan?" ujar Acha tak percaya.
"It’s okay. Kalo kau tak percaya liat saja nanti malam di rumah Ozy, mereka pasti akan terus bersama." Acha dan Ozy hanya menaikkan bahu menanggapi perkataan Ray.
Ozy merasa bosan, dia mendekati jendela kamar Acha yang menghadap halaman belakang. Terlihat padang rumput yang terhampar luas, dilatarbelakangi langit biru yang berhiaskan awan putih. Sungguh pemandangan yang menyenangkan.
Ozy melihat ke samping rumah Acha dari jendela di hadapannya yang terbuka. Sebuah rumah unik dan bertingkat. Dari sana hanya terlihat halaman belakangnya saja. Itu rumah Olivia, tetangga Acha sekaligus teman sekolahnya. Di halaman belakang rumah itu ada empat buah patung. Semua patung sangat mirip dengan penghuni rumahnya. Patung laki-laki dewasa dengan kumis tebal sangat mirip Paman Tiur, ayah Olivia. Di sampingnya sebuah patung wanita dewasa mirip Bibi Sari, ibu Olivia. Di depannya dua patung anak perempuan, yang sebelah kanan mirip Ourel, adik Olivia. Sebelah kirinya mirip Olivia. Sangat mirip. Hanya saja semua patung itu kupingnya di atas, seperti telinga anjing. Bukan di samping, layaknya manusia normal. Di wajah semua patung juga ada kumis yang seperti kucing. Kalau diteliti patung itu sedikit bungkuk.
Ozy bingung sendiri, apakah patung itu bungkuk karena sudah tua umurnya, well batu gak mungkin bisa melengkung dengan sendirinya, ia merutuki pemikiran anehnya sendiri. Mungkin patung itu sengaja dibuat bungkuk. Melihat patung itu, Ozy teringat Olivia. Dia merasa kalau ada suatu rahasia besar yang disembunyikan Olivia. Tapi dia sendiri tidak tahu apa itu.
"Hei," kata Ozy membalikan badannya, menghadap Ray dan Acha. "Kalian merasa gak, sih kalau ada rahasia yang disembunyikan Olivia?" Mendengar perkataan Ozy, Acha jadi kesal. Sementara Ray terlihat antusias.
"Memangnya kenapa? Wajarkan dia menyembunyikan rahasia? Memangnya salah?" kata Acha sinis.
"Bukan gitu, tapi..." Sebelum Ozy melanjutkan kata-katanya Acha sudah memotong.
"Oh... Atau jangan-jangan kau suka dia, ya?" kata Acha dengan nada kesal.
"Bukan. Aku tidak bilang kalau aku suka dia aku cuma... ah sudahlah. Nggak penting," kata Ozy sambil merebahkan badannya di kasur Acha.
Acha mendelik Ozy kesal. Entah apa yang membuatnya menjadi kesal ketika Ozy menyebut-nyebut Olivia. Sementara Ray tiduran di lantai kamar Acha yang dilapisi karpet bermotif pegunungan. Kedua tangannya dia jadikan alas kepala. Matanya menerawang, memandang langit-langit kamar Acha yang berwarna biru langit dengan hiasan awan-awan kecil. Rasanya seperti memandang langit sungguahan. Dalam benaknya berkelebat bayangan wanita yang selama ini menghantui pikirannya. Olivia dan senyum rockernya. Mengingat Olivia membuat Ray senyum-senyum sendiri.
Ozy mengibas-ngibaskan tangannya di depan mata Ray, tapi tak ada reaksi. Ozy melirik Acha.
"Kenapa dia senyum-senyum sendiri kaya gitu?" tanya Ozy pada Acha.
Acha meletakan miring jarinya di atas dahi yang ia gerakkan ke atas dan bawah. 'Gila kali dia'. Itulah maksud yang Ozy simpulkan dari sinyal Acha tadi.
Karena Ray sedang terkena syndrom gilanya, Ozy memutuskan untuk pulang duluan. Dia tak mau mengganggu khayalan Ray yang sedang asyik itu. Setelah Ozy pamitan pulang yang ditanggapi Acha hanya dengan anggukkan kepala, gadis itu kembali tiduran sambil menonton Ray yang masih senyum-senyum.
No comments:
Post a Comment