Kaum Barbush
Malam itu di rumah Ozy sudah banyak orang, tidak terlalu banyak juga sebenarnya. Hanya ada keluarga Acha, Ray, Olivia, dan beberapa tetangga dekat. Makan malam sudah hampir selesai saat itu. Mereka memberi Ozy hadiah dan ucapan selamat ulang tahun. Sejak acara itu berlangsung, Ozy terus memasang senyum manisnya ketika menyambut para tamu.
Ray dan Acha memutuskan untuk menginap di rumah Ozy malam itu. Setelah para tamu pulang, mereka segera masuk kamar Ozy dengan membawa semua kado. Ray membawa paling banyak, dia berharap mendapat sebagian jatah dari membantu Ozy mengangkut kadonya. Mereka menjatuhkan semua kado di karpet biru tua milik Ozy.
"Apa kubilang, mereka pacaran kan?" ujar Ray pada Acha dengan senyum kemenangan. "Kau lihat tadi? Mereka kemana-mana berdua. Tadi siang setelah dari rumahmu aku mengikuti Kak Agni. Mereka janjian di taman dekat danau."
"Kau menguping?" tanya Acha.
"Yah... Lebih tepatnya menyelidiki. Aku selalu curiga, setiap malam Kak Agni selalu menerima telepon. Aku yakin itu telepon dari Kakakmu. Makanya tadi sore aku mengikuti mereka. Dan wowww... Kak Cakka ternyata cukup romantis. Hahaha... Sebentar lagi kita bakalan iparan nih." Ray menaik-turunkan alisnya.
"Yeah terserah." Acha mengibaskan tangannya di hadapan wajah Ray.
"Zy, ayo dong buka kadonya," ujar Ray semangat, mengalihkan pandangannya pada Ozy yang malah duduk di jendela kamar.
Ozy turun, menghampiri Ray dan Acha yang sudah tak sabar ingin melihat isi kado-kado tersebut. "Siapa yang ulang tahun sih? Aku atau kau?"
Ray hanya cengengesan. Dia mengambil salah satu kado berwarna kuning yang lumayan besar. "Aku buka ya, Zy."
Ray langsung menyobek bungkusnya. Dengan harap-harap cemas dia membuka kardus yang ada di dalamnya. "HA??!!!" serunya kaget sekaligus tak percaya. "Apa ini? Cuma sobekan kertas?" Ray memperlihatkan isi kado itu pada Ozy dan Acha.
"Coba lihat," kata Ozy dan merebutnya dari Ray. Dia mengoreh-ngoreh isi kado tersebut. Sebuah benda dingin mengenai jarinya, ia mengambil benda itu dan menelitinya. "Wowww... Kereeeennn..." kata Ozy kagum.
"Apa apa?" Ray dan Acha melihat benda berkilau di tangan Ozy. Acha memandanginya takjub. Sementara Ray garuk-garuk kepala kebingungan.
"Emang itu apaan?" tanyanya. Ozy dan Acha memandang Ray yang sering telmi mendadak. Acha menoyor kepala Ray pelan.
"Itu mutiara. Bodoh!" bentak Acha kesal.
"Mutiara? Mana-mana, coba lihat." Tanpa menunggu persetujuan Ozy, Ray merebutnya dan meneliti benda bulat yang berkilauan tersebut.
"Lebih baik kau jangan pegang terlalu lama," kata Acha merebut mutiara dari tangan Ray dan menyerahkannya pada Ozy. "Nanti bisa-bisa kau bawa pulang."
Ozy tersenyum melihat kelakuan keduanya sahabatnya. Dia menerima mutiara yang Acha sodorkan dan menyimpannya di sebuah kotak kecil. Ray masih memajukan bibirnya, sebal pada perlakuan Acha. Dia meneruskan pekerjaan menyenangkannya lagi, membuka kado-kado ulang tahun Ozy.
"Lihat," kata Acha. "Benda apa ini?"
Acha memperlihatkan benda bulat terbuat dari emas seukuran telapak tangan dengan sebuah bolong kecil di tengahnya. Benda itu memantulkan cahaya emas ketika terkena lampu kamar Ozy.
"Cool... Kau bisa kaya mendadak kalau semua orang memberimu benda seperti itu," kata Ray masih memandang takjub benda berkilau itu .
"Aneh..." komentar Ozy. Dia meneliti benda itu sambil mengerutkan kening.
"Lebih baik kau simpan benda itu. Harganya pasti sangat mahal," saran Acha.
Ozy menurut. Dia menyimpan benda itu bersama mutiara yang tadi. Dia masih bingung. Siapa kira-kira yang memberinya benda mahal itu? Ozy mengangkat bahu, dia tak mau pusing-pusing memikirkannya. Siapa tahu memang itu hari keberuntungannya. Ozy bergabung kembali dengan Ray dan Acha membuka kado-kadonya yang lain.
Ray memberi Ozy sebuah jam tangan yang sepertinya lumayan mahal. Ozy sangat berterimakasih, dia langsung memakainya saat itu juga. Ray memang yang paling kaya di antara mereka bertiga, jadi wajar saja kalau dia memberi hadiah yang lumayan mahal. Sementara Acha memberinya buku ensiklopedi yang sangat tebal. Katanya supaya Ozy lebih pintar dan lebih rajin membaca. Walaupun menurut Ozy hadiahnya aneh, tapi dia menerimanya dengan senang hati. Setelah membuka semua kado-kado, mereka tertidur.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Mereka sudah memasuki alam mimpi mereka yang indah. Ketika tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu kamar. Acha yang memang peka terhadap suara sekecil apapun terbangun. Dia mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk.
'Tok Tok Tok'
Suara ketukan pintu terdengar lagi. Acha memandang pintu kamar Ozy dengan sedikit ketakutan. Dia memandang Ozy yang tidur di karpet dengan Ray di sampingnya. Acha ragu, apa dia bangunkan Ozy atau membuka pintunya sendiri. 'Tok Tok Tok' Ketukan itu terdengar lagi, dan semakin keras. Dia ragu untuk membukanya sendiri. Akhirnya dia membangunkan kedua sahabatnya yang sedang tertidur pulas. Dia turun dari kasur Ozy dan menghampiri kedua sahabatnya yang tidur di karpet.
"Ozy... Ray... Bangun," katanya pelan sambil menggoyang-goyangkan tubuh mereka.
Ozy mengucek-ngucek matanya yang masih ngantuk, disusul Ray yang langsung menguap, membuka mulutnya lebar-lebar. "Ada apa sih?" tanyanya.
"Ada yang ngetuk pintu," jawab Acha lirih.
'Tok Tok Tok'
Ketukan pintu terdengar lagi, mereka semua memandang ke arah pintu. Ozy berdiri dan berjalan ke arahnya.
"Mau ngapain?" tanya Acha cemas.
"Mau liat siapa yang ngetuk pintu lah," ujar Ozy tak acuh sambil terus berjalan dan membuka pintu kamarnya. Seorang lelaki dewasa tinggi dan cukup gemuk berdiri di sana. Ozy memandang orang itu.
"Uncle Jo? Ada apa? Mau ketemu Mamah?" tanya Ozy heran.
Uncle Jo tersenyum dan menggeleng pelan. "Tidak. Aku ingin bertemu denganmu." Ozy mengerutkan keningnya. "Boleh Uncle masuk?"
"Boleh. Boleh. Silahkan." Ozy membuka lebar pintu kamarnya.
Ray dan Acha menatap Uncle Jo, heran. "Hai. Temennya Ozy ya?" tanyanya. "Saya Uncle Jo, tetangganya Ozy." Uncle Jo mengulurkan tangan yang kemudian disambut Ray dan Acha yang masih keheranan.
Setelah menutup pintu kamar, Ozy menghampiri Uncle Jo dan kedua sahabatnya yang sedang duduk di karpet. "Ada apa Uncle?" tanya Ozy.
Uncle Jo tersenyum sebelum memulai pembicaraannya. "Kau sudah empat belas tahun kan?" tanyanya. Ozy mengangguk bingung, dia masih belum mengerti maksud Uncle Jo. "Aku punya tugas untukmu. Kau satu-satunya harapan untuk membebaskan Kaum-ku."
"Kaum?? Kaum apa??" tanya Ozy bingung.
"Kaum Barbush. Sebenarnya aku bukan manusia biasa sepertimu. Aku adalah Ketua Kaum Barbush."
"Kaum Barbush? Apa itu? Aku belum pernah mendengarnya," tanya Ozy. Ray dan Acha hanya diam, mereka masih mengumpulkan syaraf otaknya supaya bisa mengerti percakapan Uncle Jo.
"Aku tahu, kau pasti belum mendengarnya. Biar aku ceritakan padamu. Dulu, ketika Ayah kakekmu masih hidup. Dia menemukan gerbang yang menuju negri kami. Negri Barbush.
"Buyutmu sangat jenius, dia memberikan peradaban baru bagi Kaum kami. Dia menciptakan mesin, alat komunikasi, dan benda lain yang memudahkan pekerjaan kami. Kaum kami menyebutnya Tuan Perubahan. Semenjak kedatangannya, Kaum Barbush menjadi semakin maju. Anak-anak di sekolahkan, alat-alat canggih seperti buatan manusia berhasil kami ciptakan. Peradaban kami waktu itu sudah melebihi Kaum Kracker.”
“Kaum Kracker? Apalagi itu?” ujar Ozy, semakin bingung.
"Kaum Kracker adalah Kaum yang selalu mengejek kami. Mereka selalu berpikir Kaum merekalah yang paling maju dan paling kuat. Maka, ketika Kaum Barbush sudah mencapai kejayaan, mereka marah. Mereka mengincar Buyut-mu, mereka menginginkannya untuk dibunuh. Mereka yakin, karena ulah Buyut-mu lah mereka kalah dari Kaum Barbush."
"Lalu apa Kakek berhasil mereka bunuh?" tanya Ozy sedih.
"Tidak. Buyut-mu berhasil mengunci mereka di Negrinya. Kaum Kracker tak akan mengganggu lagi. Tapi masih ada satu orang lagi dari Kaum Kracker yang tertinggal di Barbush. Dia berusaha untuk membukanya lagi. Dia hampir berhasil kalau Buyut-mu tidak menggagalkan rencananya. Tapi Buyut-mu tidak bisa berbuat banyak, dia menyuruh Kaum Barbush untuk meninggalkan Negri kami dan untuk sementara menetap di Negrinya. Negri Manusia.
"Tapi, di sini kami tidak bisa menggunakan sihir terlalu sering. Karena para manusia menganggap kalau sihir itu perbuatan kotor. Dia juga menyuruh kami supaya berubah wujud seperti manusia. Tak lama setelah itu Buyut-mu meninggal.
"Dan tugasmu adalah mencari kembali gerbang Barbush yang telah disamarkan Adrian-Buyut-mu itu."
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan Ayah, atau Kakak-ku, atau siapa gitu?"
Uncle Jo tersenyum. "Karena Adrian yang memilihmu." katanya.
"Dari mana kau tahu?"
"Ramalan. Sebelum meninggal, dia memberi kami bola kristal. Katanya, bola itu akan berdering dan memberitahu kami kalau 'Sang Pembuka' Barbush telah lahir. Dan tepat ketika kau lahir empat belas tahun yang lalu, bola itu berdering. Dan memberitahu alamat rumahmu." kata Uncle Jo.
Ozy terdiam, dia masih tak mengerti, kenapa dia harus melakukan semua itu? "Kalau aku tak mau melakukannya?"
"Kami akan membunuh habis semua keturunan dan semua keluargamu," kata Uncle Jo berbisik di telinga Ozy.
Ozy terdiam kembali, kaget mendengar ancaman Uncle Jo. "Baiklah! Aku akan mencoba," kata Ozy.
"Kami ikut!" kata Ray dan Acha bersamaan. "Biarkan kami membantunya!"
"Tapi...." Ozy hendak berujar sesuatu sebelum Uncle Jo memotong perkataannya.
"Terserah kalian!" ujar Uncle Jo memotong perkataan Ozy. "Besok malam, tepat jam dua belas. Aku menunggu kalian di Gunung Hurein." ujar Uncle Jo pada Ozy.
Ozy mengangguk. "Bagus! Dan jangan telat!" Uncle Jo berdiri sudah bersiap-siap akan pergi.
"Tunggu!" kata Ozy. "Aku ingin melihat wujud aslimu!"
Uncle Jo berbalik dan menghadap Ozy. Tiba-tiba saja telinga Uncle Jo mulai naik ke atas, seperti telinga anjing. Di kedua pipinya tumbuh kumis, sangat mirip kucing. Punggungnya mulai bongkok. Mirip. Sangat mirip, dengan patung di halaman belakang rumah Olivia. "Ini wujud asli Kaum Barbush."
Uncle Jo berbalik membelakangi Ozy, kemudian dia menghilang. Meninggalkan Ozy dan kedua sahabatnya terbengong-benngong. Butuh waktu sepuluh menit untuk mengembalikan kesadaran mereka.
"Kau... kau... li... hat ta... ta... di? Apa a-ku mim-pi?" kata Ray terbata-bata.
"Bukan! Ini bukan mimpi! Ini kenyataan! Sudah kuduga!" kata Ozy yakin.
"Apa?" tanya Acha belum mengerti.
"Tadi siang di rumahmu, aku melihat patung di halaman belakang rumah Olivia. Selama ini aku tidak memperhatikan bentuk patung-patung itu. Kau tahu seperti apa bentuknya?" tanya Ozy. Acha menggeleng. "Sangat mirip dengan wujud asli Uncle Jo tadi. Dari pertama melihat Olivia, aku selalu merasa ada rahasia besar yang disembunyikannya. Dan sekarang terbukti."
"Mak-sud-mu O-livia i-tu makhluk se-per-ti ta-di?" tanya Ray terbata, dia masih tak percaya. Ozy mengangguk yakin. "Jadi? Selama ini aku suka dengan anak dari Kaum Barbush?" Menanggapi perkataan Ray, Ozy hanya menaikan bahunya. Acha tak bisa menahan tawanya.
"Tidaaaaaaakkk!" teriak Ray yang langsung mendadak lemas. Dia membiarkan dirinya kembali berbaring. Dia sangat kecewa.
“Cinta tak mengenal perbedaan Ray.” Acha berujar geli.
"Kau yakin akan melakukannya?" tanya Acha pada Ozy. Ray dan Acha tak mendengar ancaman apa yang dibisikan Uncle Jo padanya tadi. Ozy mengangguk yakin. "Aku dan Ray akan membantumu. Kami tak akan membiarkanmu kesusahan sendiri." Acha memegang tangan Ozy, meyakinkannya.
"Lebih baik kita tidur lagi, pagi masih lumayan lama," kata Acha. Dia melirik ke sampingnya. Terlihat Ray sudah memejamkan matanya kembali. "Sepertinya Ray sudah memimpikan kembali Olivia," kata Acha tersenyum. Ozy membalas senyuman gadis itu.
"Apa aku tak apa-apa tidur di kasurmu, sementara kau dan Ray tidur di karpet?" tanya Acha.
Ozy tersenyum. "Setiap kali kau dan Ray menginap di rumahku kan selalu begitu," jawab Ozy.
"Hhh... Baiklah. Met malam," kata Acha merebahkan badannya di kasur Ozy.
"Malam," kata Ozy. Dia masih belum mengantuk. Dia masih memikirkan perkataan Uncle Jo tadi. Entah kenapa, ia tiba-tiba teringat mutiara dan emas yang tadi diterimanya.
Ozy berjalan menghampiri meja belajarnya. Dia membuka kotak kecil tempat dia menyimpan kedua benda tadi. Dia mengamati kedua benda itu. Ternyata lubang yang ada dalam bundaran emas tadi sama ukurannya dengan mutiara. Ozy mencoba menyatukan keduanya. Sangat pas.
Setelah keduanya digabung, benda itu mengeluarkan cahaya kuning emas yang menyilaukan. Ozy terjatuh dari kursi belajarnya ketika cahaya itu mengenai matanya. Ozy kembali berdiri, mengamati benda itu sekali lagi. Bentuknya sudah berubah, gabungan keduanya membentuk sebuah kunci emas. Ozy mengambil benda itu. Dia tak percaya dengan penglihatannya. Ozy mencari benda bulat tadi di sekitar meja belajarnya. Tapi tak menemukan apapun. Yang dia temukan hanya kunci emas itu. Ozy menaikan bahunya dan menyimpan kembali kunci itu di dalam kotak kecil.
"Mungkin besok aku aku harus membawanya," gumam Ozy. Dia berjalan menghampiri Ray, melanjutkan kembali tidurnya yang sempat terganggu.
No comments:
Post a Comment