Monday, 1 February 2010

Tiga : A Job


A Job
Matahari bersinar cerah. Cahayanya menerobos memasuki kamar. Ketiga bocah itu masih tertidur. Sepertinya mereka tak akan bangun kalau saja tak ada gedoran pintu yang memaksa mereka untuk bangun. Acha yang pertama bangun, dia merentangkan tangannya dan menguap panjang. Dia melihat gorden jendela kamar Ozy yang masih menutup. Setelah membuka gorden, dia membangunkan kedua sahabatnya yang masih tertidur pulas.
"Hoaaaaammm..." Ray menguap lebar tanpa menutup mulutnya. "Hei! Kalian tahu? Semalam aku mimpi yang aneeehh banget," katanya.
"Memang mimpi apa kau?" tanya Ozy. Dia mendudukan badannya dan menghadap Ray.
"Semalam aku mimpi, ada orang bernama Uncle Jo. Katanya sih tetangga kau, Zy. Terus dia berubah bentuk jadi aneh. Dan yang bikin tambah aneh, Olivia itu sama kaya Uncle Jo," jelas Ray panjang lebar.
Acha mendekati Ray dan menjitak kepalanya. "Itu bukan mimpi bodoh! Itu emang nyata!" kata Acha.
Ray menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Jadi itu beneran ya? Wah... Patah hati aku. Oh... Olivia, kau mengecewakanku," kata Ray dramatis.
"Sudahlah! Kan masih banyak inì cewek lain." Ozy berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. "Lebih baik kalian pulang dulu. Nanti kita telat sekolah."
"Ya udah. Kita balik dulu ya, Zy. Yuk Ray!" kata Acha dan berjalan keluar kamar.

***

"Kau yakin akan menemui Uncle Jo di Gunung?" tanya Acha. Saat itu mereka sedang berada di kantin sekolah.
Ozy menganggukkan kepalanya. "Tapi bagaimana kau bisa keluar rumah tengah malam begitu? Nanti kalau Ibumu marah gimana?" tanya Acha lagi.
"Itu urusan nanti. Gampang lah." jawab Ozy santai.
Acha mendesah pelan, dia tak bisa mengubah keputusan Ozy yang keras kepala. "Ozy?" Terdengar suara pelan dari belakang mereka. Ozy, Ray, dan Acha menoleh. Dia mendapati Nandya, teman mereka di sana.
"Ya?" kata Ozy disertai senyum manisnya.
"Ini." Nandya memberikan sebuah kotak yang dibungkus rapi oleh kertas kado pada Ozy. Dengan perasaan bingung, Ozy menerimanya. "Kemarin kau ulang tahun kan? Itu hadiah dariku. Sorry telat," kata Nandya seolah mengerti kebingungan Ozy.
"Thanks."
"Ya udah. Aku balik ke kelas lagi ya?"
Ozy mengangguk pelan. Setelah Nandya lumayan jauh, Ozy menghembuskan napasnya. Dia tersenyum sendiri. 'Ternyata dia ingat ulang tahunku,' batinnya.
"Kau kenapa?" Ray melambai-lambaikan tangannya di hadapan Ozy. Tak ada reaksi. Ozy masih terus tersenyum sambil memegangi kado yang diberikan Nandya.
"Zy? Aku buka ya kadonya?" Tanpa menunggu persetujuan Ozy, Ray menarik kado dari tangan Ozy. Refleks Ozy menarik kembali kadonya yang sudah berpindah ke tangan Ray. "Enak aja! Aku gak bakalan membukanya disini!" kata Ozy.
"Ah! Pelit kau!"
Ozy tak menanggapi perkataan Ray, dia masih terus tersenyum. "Eh. Kalo dilihat-lihat Nandya cantik ya? Menurut kalian gimana?"
Ray mengerutkan keningnya bingung. "Biasa aja tuh," kata Acha yang dari tadi diam.
"Coba deh perhatikan lagi," kata Ozy santai. Dia mengalihkan pandangannya pada Acha. Sementara Acha terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Ozy barusan.
"Memang iya kan? Dia biasa aja tuh!" kata Acha, ada nada mengejek dalam perkataannya.
"Masa sih? Menurut aku dia terlihat manis kalau tersenyum."
"Oh ya?" kata Acha sinis.
Ozy mengerutkan kening, bingung. Tak biasanya Acha bicara seperti itu. "Kau kenapa sih?"
"Kenapa apanya?"
"Aneh! Tak biasanya kau bicara begitu."
"Terus? Kau mau aku bicara apa?" kata Acha, nada bicaranya mulai meninggi. "Oh. Kau mau aku bilang, kalo Nandya itu cantik? Oke! Menurutku Nandya cantik, pintar, baik, manis. Puas?!" Acha memukul meja kantin yang ada di hadapannya. Kemudian dia pergi meninggalkan Ray dan Ozy yang masih melongo. Kaget dengan perubahan sikap Acha.
Sepeninggal Acha, mereka berdua masih menatap sosok Acha yang terus menjauh, dalam diam. "Dia kenapa sih?" tanya Ozy, dia masih belum mengalihkan pandangannya. Ray hanya mengangkat bahu.
Sepulang sekolah, Acha masih marah. Dia pulang sendiri tanpa bicara apapun pada Ozy dan Ray. Sementara Ray dan Ozy masih bingung, apa yang membuat perubahan pada sifat Acha. Mereka memutuskan untuk ke rumahnya nanti sore.
Ketika mereka akan mengambil sepeda mereka, seseorang memanggil. "Ozy? Bisa kau ke ruangan bapa?" Pak Duta sudah berdiri di dekat sepeda mereka. "Sekarang," kata Pak Duta lalu melangkah meninggalkan tempat parkir. Ozy memandang benci sosok Pak Duta yang mulai menjauh. Tadinya dia sempat berpikir untuk tidak menemuinya, tapi dia bukan pengecut. Akhirnya dengan perasaan sedikit kesal dia menemui Pak Duta.
Ozy memasuki ruangan Pak Duta tanpa mengucapkan apapun. Dia melihat Pak Duta sedang menulis sesuatu di meja kerjanya. Merasa ada seseorang yang memasuki ruangan, Pak Duta mengangkat kepalanya. "Duduk," kata Pak Duta. Dia menutup buku yang sedang di tulisnya.
"Ada perlu apa anda memanggil saya?" tanya Ozy setelah ia duduk. Pak Duta mencondongkan badannya menghadap Ozy.
"Apa kau bertemu seseorang tadi malam?"
"Dari mana anda tahu?" Ozy mengerutkan keningnya dan memandang Pak Duta tajam.
"Mungkin kau tak akan percaya. Aku adalah salah satu dari Kaum Barbush. Mungkin kau pernah mendengarnya?" Ozy mengangguk. "Dan apa yang disuruh orang itu padamu?"
"Itu bukan urusan anda!"
"Tentu itu urusanku! Aku pemimpin Kaum Barbush saat ini. Dan aku tahu, kau merupakan Sang Pembuka yang disebut-sebut ramalan. Makanya aku menjadi gurumu, karena aku melihat kelakuanmu yang sembrono. Bukan hanya orang kuat dan berani saja yang bisa membuka gerbang menuju Barbush. Tapi orang itu juga harus berhati suci. Sementara kau? Setiap hari kerjamu memalak terus, membuat onar, berkelahi, tak pernah sekalipun kau..."
"Cukup!!!" Ozy memotong perkataan Pak Duta. Dia menatap Pak Duta dengan kemarahan. "Anda boleh mengatur tindakan saya di sekolah. Tapi anda tak berhak mengatur kehidupan pribadi saya! Lagipula, saya tidak percaya anda pemimpin Kaum Barbush. Karena orang yang menemui saya semalam juga mengaku kalau dia adalah pemimpin Barbush. Dan sayang sekali, aku lebih percaya orang itu daripada Anda!"
"Tidak! Dengarkan aku! Orang itu bukan Kaum Barbush. Kaum kami tak pernah berani bertamu malam hari. Aku yakin, itu salah satu dari Kaum Kracker."
"Kaum Kracker sudah dikunci!"
"Bukan! Bukan begitu cerita sebenarnya. Tapi..."
"Sudahlah!" Lagi-lagi Ozy memotong perkataannya. "Sebesar apapun anda menyuruh saya untuk percaya, tak akan mempan. Saya tak akan percaya begitu saja, setelah apa yang sudah anda lakukan terhadap saya , anda hampir membunuh saya ketika kemah. Hampir setiap hari anda menghukum saya, padahal anda tahu saat itu bukan kesalahan saya."
"Tapi aku mohon, jangan kau turuti perintah orang itu! Dia bisa saja..."
"Maaf. Kalau hanya itu yang ingin anda bicarakan, saya permisi. Selamat siang!"
Setelah mengucapkan semua itu, Ozy melangkah keluar ruangan tanpa melihat Pak Duta lagi. Ozy menghampiri Ray yang sedang menunggunya di tempat parkir. "Bicara apa dia?" tanya Ray.
"Dia bilang aku gak boleh menemui Uncle Jo di Gunung."
Ray mengerutkan kening. "Dari mana dia tahu?" Ozy hanya menaikan bahunya.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Ozy berbaring gelisah di kamarnya. Ray tadi menelpon katanya dia sudah menunggu di taman dekat danau. Sementara Ozy masih belum menemukan cara untuk keluar rumahnya. Keadaan sudah hening, tak ada lagi suara televisi di ruang tengah. Berarti semuanya sudah tidur.
Ozy bangkit dan menulis sesuatu di kertas. Setelah itu dia menyambar jaket dan kunci emas yang sudah disiapkannya dari tadi. Ozy melangkah keluar kamar dengan pelan, berusaha supaya tidak membangunkan siapapun. Dia sudah hampir melewati ruang tamu, ketika ada seseorang yang menyentuh pundaknya.
Ozy langsung menutup mulutnya yang hampir mengeluarkan jeritan panjang. Ozy masih belum berani menoleh. "Ozy? Sedang apa kau?" Terdengar suara dingin dan tanpa nada dari belakang.
Ozy menoleh dan memandang orang itu, berusaha ekspresi wajahnya setenang mungkin. Seorang wanita tua berdiri di sana. Wajahnya sudah keriput, dan datar tanpan ekspresi. Kau bisa menyangka dia orang jahat jika tidak mengenalnya.
"Bibi Ema? Bikin kaget saja. Eh... anu... eh... Ozy mau ke... ke... toilet! Iya ke toilet! Udah kebelet!" Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berlari menuju toilet yang ada di dapur. Bibi Ema sepertinya percaya, dia berjalan kembali menuju kamarnya.
Ozy bersembunyi di dapur, mengawasi Bibi Ema supaya benar-benar meninggalkan ruang tengah. Setelah yakin Bibi Ema tak ada, Ozy berjalan mengendap-endap keluar rumah melalui pintu belakang. Hanya angin dingin dan keheningan malam yang menyambutnya. Dia segera berlari menuju taman. Sesampainya di sana, Ray ternyata tidak sendiri. Dia bersama seorang wanita. "Ray?" kata Ozy sambil menepuk pundak Ray. "Sorry lama."
Ray menoleh, seorang perempuan yang ada di sampingnyapun ikut menoleh. Ozy memandang wanita itu tak percaya. "Acha? Kukira kau tak ikut," kata Ozy.
"Kalau kau mau aku pergi aku bisa pulang sekarang." Acha sudah berdiri dan hendak meninggalkan Ray dan Ozy.
"Tidak tidak. Bukan begitu," kata Ozy cepat-cepat. "Kukira kau masih marah."
"Aku minta maaf soal tadi siang," kata Acha menunduk.
"Baiklah! Kapan kita berangkat?" tanya Ray yang dari tadi hanya diam.
"Lebih baik kita berangkat sekarang. Sudah hampir tengah malam." Ozy mulai melangkah menuju Gunung Hurein, disusul oleh Ray dan Acha di belakangnya.
Mereka sampai di Gunung Hurein jam duabelas kurang enam menit. Angin malam berhembus pelan, menerpa wajah dan rambut ketiga anak itu. Ketiganya segera merapatkan jaket mereka. Ozy memandang sekeliling, tak ada siapapun di sana. Hanya kegelapan yang dia lihat kemana pun dia mengalihkan pandangannya. Hening. Tak ada suara apapun. Hanya desahan napas mereka yang terdengar.
"Dimana orang itu?" bisik Ray.
"Aku juga tak tahu. Dia bilang, dia menunggu kita di sini tepat tengah malam," balas Ozy ikut berbisik. "Lebih baik kita tunggu dia sebentar lagi. Kalian tidak takut kan?"
"Tidak," bisik Ray dan Acha bersamaan.
Tepat ketika tengah malam, terdengar suara dari belakang mereka. "Ternyata kalian datang juga." Mereka menoleh ke belakang. Uncle Jo sudah berdiri di sana dengan mantel bulu yang membuatnya lebih terlihat gemuk. "Bagus! Berarti kalian bukan pengecut," lanjutnya.
"Apa yang harus kami lakukan di sini?" tanya Ozy. Dia berusaha menatap mata Uncle Jo yang samar-samar, ditutupi kabut dan gelapnya malam.
Uncle Jo tersenyum. "Apa kau bertemu orang lain yang mengaku pemimpin Barbush selain aku?"
Ozy memandang Uncle Jo heran. "Ya... Bagaimana anda tahu?"
Uncle Jo tertawa pelan. "Aku sudah menduganya. Dia pasti akan menemuimu. Apa kau lebih percaya orang itu daripada aku."
"Tidak tidak. Tentu saja tidak," kata Ozy cepat. "Tentu saja aku lebih mempercayaimu."
"Bagus! Sekarang ikuti aku!" Tanpa menunggu jawaban Ozy dan kedua temannya, Uncle Jo sudah berjalan duluan menuju bagian Gunung Hurein yang lebih gelap.
Bulan sama sekali tak terlihat malam itu. Bintang pun ikut bersembunyi di balik awan hitam. Tak ada satupun di antara mereka yang membawa senter atau alat penerang lainnya. Mereka hanya ditemani oleh cahaya samar dari pantulan langit malam. Uncle Jo berhenti, tepat di depan dua buah pohon yang mirip seperti gerbang. Daerah di sebelah dalam lebih gelap lagi, bukan gelap, tapi sangat gelap. Ozy, Ray, dan Acha ikut berhenti. Ketiganya saling pandang. Menduga-duga apa yang akan dilakukan Uncle Jo selanjutnya.
Uncle Jo berbalik dan menghadap mereka. "Apa kau masih berani? Kalau kau sudah takut, sebaiknya tak perlu diteruskan," katanya memastikan.
Mereka semua terdiam, kemudian Ozy berkata yakin. "Aku tak takut! Aku masih bisa meneruskan." Ozy meyakinkan dirinya, ia tak mau disebut pengecut. Kata yang sangat dihindarinya. Dia memandang kedua sahabatnya yang masih bungkam. "Bagaimana dengan kalian? Kalau kalian takut, aku bisa melanjutkannya sendiri."
Sesaat keduanya saling pandang. "Aku ikut!" kata Ray yakin. "Aku juga!" kata Acha.
Uncle Jo tersenyum, tapi tak bisa terlihat jelas. Apakah ia tersenyum senang atau tersenyum bangga. "Kalian memang anak-anak pemberani! Baiklah! Tugas kalian adalah masuk ke dalam." Uncle Jo menunjuk daerah gelap di hadapan mereka. "Cari gerbang disana!"
"Bagaimana kami menemukannya? Tak ada petunjuk apapun. Lagipula di dalam sana gelap sekali," kata Ozy tak yakin.
"Kau tenang saja. Aku tak akan membiarkanmu kesusahan. Pegang ini!" Uncle Jo memberikan sebuah kotak. "Kotak itu akan berdering kalau kalian sudah dekat gerbang. Kalau kalian sudah menemukan gerbang, buka kotak itu dan ambil kunci yang ada di dalamnya. Kalian hanya perlu berjalan lurus. Ikuti jalan setapak ini, maka kalian akan menemukan gerbang itu. Sayang sekali, aku tak bisa menemani kalian. Semoga berhasil."
Ozy, Ray, dan Acha memandang kotak yang diberikan Uncle Jo. Tiba-tiba Ozy teringat dengan kotak emas yang dibawanya. "Uncle?" katanya. Hening. Tak ada jawaban. Ozy heran, dia menoleh ke belakang. Gelap. Tak ada siapapun di sana, yang dia lihat hanya kegelapan yang semakin pekat. "Uncle? Uncle Jo?" Ozy memanggil-manggil Uncle Jo, tapi tak ada jawaban.
"Kenapa? Mana Uncle Jo?" tanya Ray.
"Dia pergi. Lebih baik kita segera berangkat dan menemukan gerbang itu." Tanpa menunggu jawaban, Ozy sudah melangkah menuju kegelapan.

@@@

Dua orang dewasa sedang berbincang-bincang di sebuah ruangan. Mereka terlihat sangat serius dan cemas.
"Sudah kubilang! Kau jangan terlalu keras dengannya. Kalau dia sudah membencimu dia sulit mempercayaimu," kata Bibi Ema, salah seorang dari mereka.
"Dia memang keras kepala. Kalau tidak pakai kekerasan sulit berubah..." kata Pak Duta.
"Tapi kalau sudah begini sulit kan? Dia pasti sudah pergi ke Gunung Hurein dengan kedua temannya itu."
"Sudahlah! Tak perlu berdebat lagi. Sebaiknya kita susul mereka sekarang juga. Sebelum mereka membuka gerbangnya." Tanpa berkata apa-apa lagi Pak Duta meninggalkan ruangan itu. Disusul dengan Bibi Ema setelahnya.

No comments:

Post a Comment

Gomawo~