Kunci Perak
Ozy mengucek-ngucek matanya, dia tertidur cukup lama. Melihat keadaan yang sangat gelap dia membuka kepalan tangannya. Kunci emas tergeletak di sana, memancarkan cahaya kuningnya. Ozy mengarahkan cahaya itu ke sekelilingnya. Tapi Ray dan Acha tak ada di sana. Kedua sahabatnya lenyap. Perasaan bersalahnya semakin besar. Dia telah membawa mereka ke sini, dan sekarang mereka hilang.
Ozy mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Mereka sedang menunggu pagi, kemudian dia membayangkan banyak kabut di sekelingnya, dan dia tertidur. Ketika bangun, Ray dan Acha sudah tidak ada bersamanya. Ozy mengarahkan kunci emas itu ke samping kanannya. Rumput setinggi mata kaki terus melebar, tak ada tanda-tanda kedua sahabatnya di sana. Rumput itu masih berdiri tegak, tak ada bekas terinjak.
"Ray! Acha!" Ozy berteriak memanggil kedua sahabatnya. "Ray! Acha! Kalian mendengarku?!" Tak ada jawaban, bahkan tak ada suara apapun. Ozy mulai putus asa, tapi anggapannya tentang putus asa adalah sikap pengecut, membuat dia kembali kuat.
Ozy berpikir sebentar, apa dia harus terus berjalan mencari gerbang, atau mencari sahabatnya. Mudah saja menemukan jalan menuju gerbang, dia hanya perlu berjalan lurus mengikuti jalan setapak itu. Kalau dia mencari Ray dan Acha, sulit menemukan jalannya. Apakah ke kiri? Kanan? Atau terus lurus? Lagipula akan sangat sulit mencari kedua sahabatnya di Gunung yang gelap ini.
Ozy memutuskan untuk terus mengikuti jalan setapak. Kalau dia tak kunjung menemukan gerbangnya, dia akan berbelok untuk mencari kedua sahabatnya dan melupakan gerbangnya. Ozy terus melangkah sambil meneliti sekeliling, berharap menemukan Ray dan Acha di sana. Tapi itu percuma, Gunung itu sangat gelap. Bahkan dengan bantuan cahaya dari kunci emaspun masih terlalu gelap. Ozy hanya bisa melihat beberapa centi ke depan dari badannya.
Ozy berdiri memandang sosok di depannya, dia mengucek-ngucek matanya, memastikan kalau yang dilihatnya bukan bayangan. Sosok itu begitu anggun. Gaun putih yang melekat pada tubuhnya membuat sosok itu terlihat seperti putri. Rambut hitam transparan tergerai indah. Tatapan matanya kosong, memandang lurus ke depan. Ozy mengarahkan cahaya pada sosok itu. Hanya lebih tinggi beberapa centi darinya. Ketika Ozy menerangi bagian bawah sosok itu, dia menutup mulutnya kaget. Tiba-tiba saja dia merinding. Kaki sosok anggun itu tidak menyentuh tanah, tapi enggantung beberapa centi di atasnya.Ozy menyimpulkan kalau sosok itu adalah hantu. Karena dari cerita-cerita yang pernah ia dengar, hantu tidak menginjak tanah. Mereka melayang, dan kebanyakan dari mereka jahat.
Kak Rio selalu bilang, jangang tertipu pada tampang baik hantu. Karena mereka licik, meskipun tampangnya baik bisa saja mereka sangat jahat. Ozy memandang kembali sosok anggun di hadapannya. Dia yakin kalau yang di lihatnya adalah hantu, tapi hantu itu tak bergerak sama sekali. Bahkan sosok itu tak bergerak sedikitpun.
Satu lagi teorinya tentang hantu. Hantu transparan, dan dapat ditembus. Tepat ketika Ozy akan menerobos memembus sosok itu, terdengar suara derap langkah di depannya. Ozy menghentikan niatnya untuk menerobos sosok itu, dia menajamkan pendengarannya. Suara langkah itu semakin mendekat.
Ozy tak tahu pasti bagaimana prosesnya. Tapi sosok di depannya menguat dan bergerak, sekarang sosok itu menginjak tanah. Tidak melayang lagi. Ozy masih melongo menyaksikan kejadian aneh di hadapannya.
Sosok itu berkedip dan menggerakkan badannya. Menyadari ada seseorang yang memperhatikannya, sosok itu tersenyum dan memandang Ozy. "Hallo! Sedang apa kau di sini?" tanya sosok itu ramah. Ozy masih melongo memandang sosok itu. "Apa rohmu masih di situ?" Tak ada jawaban, Ozy masih mengumpulkan nyawanya yang mendadak pergi. "Namaku Oik... Kau bisa mendengarku?" katanya lagi sambil tersenyum.
Ozy baru tersadar, dia membalas senyuman itu. "Oh... Hai! Namaku Ozy."
Oik tersenyum senang mendengar suara Ozy. "Sedang apa kau di sini?"
"Aku? Kau sendiri?"
"Aku mengambil kembali sebagian jiwaku yang tertinggal. Aku memang ceroboh. Tadi ketika aku sampai di rumah, Obiet melihatku melayang. Aku yakin jiwaku tertinggal di sini. Dan ternyata benar. Kau? Sedang apa kau di sini?"
Ozy memandang Oik bingung. "Aku tak mengerti."
"Tak mengerti? Maksudmu?"
"Eh... Maksudku aku bingung. Kau bilang jiwamu tertinggal. Aku benar-benar tak mengerti. Bagaimana bisa? Apa kau hantu?"
"Hantu?" Oik tertawa kecil. "Bukan. Aku bukan hantu. Aku juga tak mengerti, sebagian jiwaku selalu tertinggal kalau aku terburu-buru. Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Aku sedang mencari gerbang. Dan sekarang kedua temanku hilang, aku juga sedang mencarinya. Apa kau bisa memberiku makanan? Aku lapar sekali." Ozy heran sendiri dengan perkataannya. Sungguh. Dia tak bermaksud meminta makanan pada Oik. Tapi keadaan perutnya yang sudah kosong membuatnya refleks mengatakan itu.
Oik mengerutkan kening, tapi kemudian dia tersenyum. "Kau lapar? Baiklah... Kau bisa ikut ke rumahku."
Oik berjalan menelusuri jalan setapak itu. Kemudian dia berbelok ke kiri menerobos rumput setinggi mata kaki. Ozy ragu, Uncle Jo bilang dia harus mengikuti jalan setapak. Menyadari Ozy tak mengikutinya, Oik berbalik dan memandang Ozy, bingung.
"Kenapa? Ayo! Apa kau mendadak kenyang?"
Ozy terdiam, berpikir sebentar. Ozy hendak menolak, tapi keadaan perutnya kembali memaksa untuk mengikuti Oik menuju makanan. Ozy mendekati Oik, dia sudah meninggalkan jalan setapak.
Ozy berjalan hati-hati, dia mengarahkan kunci emasnya sebawah mungkin. Supaya dia bisa menerangi jalan yang dilaluinya. Sementara Oik berjalan mantap. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan keadaan gelap. Mereka berhenti di hadapan rumah sederhana. Ozy meninggikan cahaya pada kunci emasnya supaya bisa melihat rumah itu lebih jelas lagi.
"Ini rumahku, memang tidak terlalu bagus, tapi aku dan Kakakku Obiet nyaman tinggal di sini. Ayo masuk." Oik melangkah menuju pintu kayu dan memasuki rumahnya.
Ozy masih memandangi rumah itu. Rumah yang berdiri di tengah-tengah kegelapan yang tanpa akhir. Atapnya melengkung, Ozy memandangnya aneh. Atap itu terbuat dari kayu, tapi bagimana bisa kayu dilengkungkan seperti itu. Karena tak menemukan jawaban, akhirnya Ozy mengikuti Oik memasuki rumah itu.
Di dalam sama gelapnya, Ozy tak bisa melihat dengan jelas. Dia mengarahkan kunci emasnya ke segala arah, berusaha mencari Oik. Terlihat olehnya Oik sedang duduk di salah satu kursi di hadapannya, ia melambaikan tangan supaya Ozy duduk bersamanya. Ozy menghampiri Oik, dia melihat ada banyak makanan terhidang di atas meja. Oik tersenyum senang, dia menyuruh Ozy supaya mencicipi masakannya.
"Itu buatanku. Silahkan dimakan. Kenapa kau diam terus? Apa kau tak suka makananku? Cobalah dulu, siapa tau kau suka," kata Oik, karena dari tadi Ozy hanya diam. Sama sekali tak menyentuh makanan itu.
"Bukan begitu. Aku sangat ingin makan. Tapi di sini terlalu gelap, bagaimana aku memakannya?"
Oik terdiam dan memandang Ozy, bingung. "Kau bercanda? Di sini tidak gelap sama sekali. Ini sudah siang, bagaimana bisa gelap? Terang sekali di sini, hari ini sangat cerah. Kau lihat burung yang ada di jendela itu?" tanya Oik dan menunjuk jendela yang terbuka di belakangnya.
Ozy mendekatkan kunci emas pada jendela. Benar saja, burung kecil bertengger di sana. Menggerak-gerakan kepalanya, lucu sekali. Tapi tetap saja Ozy bingung. Bagaimana Oik menyebut keadaan di sekelilingnya terang, padahal sangat gelap. "Ya. Aku melihatnya. Tapi... bagaimana kau bisa menyebut di sini cerah? Di sini gelap sekali, hanya ini satu-satunya sumber cahaya di sini. Dan itupun tak cukup terang." Ozy mengangkat kunci emas dan menunjukkannya pada Oik.
"Aneh. Kau benar-benar merasa gelap?" Ozy mengangguk. Oik terliha berpikir, kemudian dia mengerutkan keningnya. "Tunggu... Aku merasakan ada aura jahat. Sebuah kunci. Kunci terlarang. Kau memilikinya."
Ozy ketakutan, dia memperlihatkan kunci emas yang dipegangnya pada Oik. "Apa ini kuncinya?"
Oik menggeleng. "Bukan! Kunci itu tak berbahaya. Tapi kunci lain. Kau memegang kunci itu, aku merasakannya." Oik memandang Ozy.
Ozy berpikir lagi, tak ada kunci lain yang dipegannya. Kemudian dia teringat dengan kotak yang diberikan Uncle Jo padanya. Mungkinkah? Ozy mengambil kotak yang ada di saku jaketnya. Dia menyimpan kotak itu di atas meja, kemudian ia membukanya dan mengambil kunci perak yang ada di dalamnya. Dia menunjukan kunci itu pada Oik. "Apa kunci ini?"
Oik merasakan aura jahat itu semakin kuat. Oik mengangguk yakin. "Letakan kunci itu!" Ozy menurut. Oik menyentuh kunci itu dengan ujung kuku telunjuknya yang panjang. Dia menggumamkan sesuatu. Cahaya putih keluar dari ujung kukunya, mengenai kunci perak yang langsung melebur. Bubuk kunci itu menghilang dengan sendirinya.
Tiba-tiba saja Ozy merasakan kehangatan menjalar pada setiap sel tubuhnya. Perlahan-lahan cahaya putih menyilaukan matanya. Dia menutup matanya, menghindari pancaran cahaya yang tiba-tiba muncul. Setelah cukup lama dia membuka matanya perlahan-lahan. Ruangan yang tadinya gelap, sekarang dipenuhi cahaya. Burung yang dilihatnya ternyata berwarna biru cerah. Burung itu berputar mengelilingi ruangan rumah Oik yang terbuat dari kayu. Ozy memandang rumah itu, takjub. Semuanya terbuat dari kayu yang diukir indah, seperti rumah-rumah dalam dongeng yang dulu pernah di bacanya. Ruangan itu ternyata ruang makan, makanan yang ada dihadapannya terlihat lebih menggiurkan. Setiap inci ruangan itu diukir dengan teliti, menghasilkan ruangan yang sangat nyaman untuk dilihat. Ozy berdecak kagum melihatnya.
"Bagaimana? Kau bisa melihat cahaya sekarang?" tanya Oik membuyarkan lamunan Ozy.
"Ya... dan ternyata... ruangan ini begitu indah. Aku suka ukiran itu." Ozy menunjuk dinding di belakang Oik.
"Kak Obiet yang membuatnya, dia memang pandai mengukir," kata Oik bangga. "Sekarang dia sedang pergi. Mungkin nanti sore dia baru pulang."
Ozy membualatkan mulutnya. "Boleh aku makan sekarang?" tanyanya malu-malu.
"Boleh! Tentu saja boleh," kata Oik senang.
Ozy makan masakan Oik yang sangat enak itu dengan cepat. Oik tersenyum geli melihatnya. Dia senang kalau orang lain menyukai masakannya.
"Kenyangnya... Masakanmu enak sekali." Ozy menyandarkan kepalanya pada kursi. Tiba-tiba dia teringat kembali dengan kunci perak itu. Kenapa kunci itu membuatnya tak bisa melihat cahaya? "Oik? Apa kau tau, kenapa kunci itu membuatku tak bisa melihat cahaya?"
"Itu kunci terlarang, kunci itu telah dikutuk. Aku bisa merasakannya. Aura jahatnya sangat terasa. Siapapun yang memegang kunci itu, akan merasakan kutukannya."
"Kedua sahabatku tak memegangnya, tapi mereka juga tak melihat cahaya."
"Apa mereka pernah menyentuhnya." Ozy terdiam, dia mengingat-ngingat kejadian sebelumnya. Kemudian dia mengangguk, Ray dan Acha pernah menyentuhnya sebelum berangkat tadi. "Tentu saja. Setelah mereka menyentuh kunci itu, mereka juga akan merasakan kutukannya. Tapi kau tenang saja, sekarang mereka sudah bisa melihatnya."
"Bukan itu ku khawatirkan sekarang. Tapi di mana mereka sekarang? Apa mereka baik-baik saja? Pasti sekarang mereka sangat kelaparan. Mereka pasti belum makan." Ozy menunduk, perasaan bersalah kembali menyerangnya. Dia sangat cemas memikirkan keadaan kedua sahabatnya.
Oik memandang Ozy sedih. Dia paling tidak tega melihat orang lain bersedih. "Kau tenang dulu, kita pikirkan dengan tenang jalan penyelesaiannya."
"Baiklah. Tapi kenapa Uncle Jo memberikan kunci itu padaku?"
"Uncle Jo? Siapa dia? Bisakah kau menjelaskannya dari awal?"
Ozy menceritakan pertemuannya dengan Uncle Jo. Sesekali Oik menganggukkan kepalanya. "Katamu dia Kaum Barbush?" tanya Oik setelah Ozy selesai bicara. Ozy mengangguk memaetulkan. "Aku sudah kenal lama dengan Kaum Barbush. Mereka baik. Sangat baik. Tak mungkin mereka menyuruhmu memegang kunci terlarang itu." Oik mengambil kunci emas yang ada di atas meja. "Aku juga tahu tentang kunci ini. Ini adalah kunci gerbang menuju Barbush."
Ozy semakin bingung dengan perkataan Oik. "Maksudmu apa? Uncle Jo sudah menjadi tetanggaku sangat lama, selama ini dia baik padaku, pada keluargaku juga."
"Aku yakin, itu hanya akal-akalan dia saja. Ada suatu rahasia tentangmu yang disembunyikannya. Memang sosok yang kau lihat adalah sosok asli Kaum Barbush, tapi aku yakin. Itu bukan sosok aslinya."
Ozy hanya menaikkan bahunya menanggapi perkataan Oik. "Oh iya. Soal kunci itu, aku mendapatkannya dari menggabungkan mutiara dan emas putih."
"Dari mana kau dapat kedua benda itu?"
"Aku mendapatkannya dari hadiah ulangtahunku."
Oik membelalakan matanya. "Jadi... K-kau sang pembuka itu?" Ozy mengerutkan keningnya binung. "Akhirnya aku bertemu denganmu." Oik terdiam sesaat dan memandangi sosok Ozy yang duduk di depannya. "Aku! Aku yang menghadiahimu kedua benda itu. Aku mendapat wasiat dari Adrian-Buyutmu. Dia berpesan supaya aku memberikan kedua benda itu padamu, tetap ketika kau berusia empat belas tahun."
Ozy memandang Oik bingung, dia tak begitu mengerti dengan Oik yang menyimpan banyak rahasia.
No comments:
Post a Comment