Monday, 8 February 2010

Empat : Adventure is Begins


Adventure is Begins

Malam semakin larut. Ozy, Acha, dan Ray berjalan menuju kegelapan. Sangat gelap, tak ada cahaya sedikitpun. Langit malam terhalangi dedaunan. Ketika mereka melangkahkan kaki, rasanya seperti tersedot. Mereka merasakan tekanan pada tubuh mereka dari arah belakang.
"Aduh!" Acha setengah menjerit. "Ray kau menginjak kakiku!"
"Hei! Siapa tahu itu Ozy! Dari mana kau tahu itu kakiku? Di sini gelap." Ray tidak terima dengan tuduhan Acha.
"Jelas itu kau! Ozy tadi berjalan duluan," kata Acha mulai kesal.
"Iya. Sorry sorry." Akhirnya Ray mengalah. "Seharusnya tadi kita bawa senter. Kalau gelap begini mana bisa jalan."
Mendengar perkataan Ray, Ozy teringat dengan kunci emas yang mengeluarkan cahaya. Dia menarik kunci itu, yang dia simpan di saku jaketnya. Begitu kunci keluar, cahaya emas menerangi tempat itu. Ozy membalikkan badannya. Ternyata Ray dan Acha cukup jauh berdiri di belakangnya. Melihat ada cahaya, kedua sahabatnya mendekati Ozy.
"Wow! Apa itu kunci dari Uncle Jo tadi?" tanya Ray setelah dia dekat dengan Ozy.
"Bukan! Ini gabungan dari mutiara dan emas bulat yang kudapat dari kado ulang tahunku. Tadinya aku mau menanyakannya pada Uncle Jo, tapi tadi dia sudah pergi duluan." Ray dan Acha memandang kunci itu dengan tatapan tak mengerti. "Aku juga tak mengerti. Kemarin malam setelah Uncle Jo pulang, aku coba menggabungkan keduanya. Dan jadilah seperti ini," kata Ozy seolah mengerti tatapan bingung kedua sahabatnya.
"Apa kita akan terus meneruskan perjalanan ini atau pulang saja. Jujur. Aku mulai ketakutan," kata Acha, dia memandang sekeliling yang gelap. Hanya cahaya dari kunci saja yang menerangi mereka.
"Kalau kalian takut, kalian boleh kembali. Tapi aku tak akan mundur. Aku akan terus melanjutkan," kata Ozy yakin.
Acha terdiam cukup lama, sampai akhirnya dia memutuskan. "Baiklah! Tak ada gunanya takut gelap, lagipula kita punya kunci penerang itu."
"Bagus! Lebih baik kita berjalan sejajar dan saling berpegangan. Jangan sampai kita terpisah. Acha! Kau di tengah!" perintah Ozy. Ray dan Acha menurut. Mereka semua bergandengan. Ozy mengarahkan kunci itu pada jalan setapak yang ada di hadapannya.
Tak ada suara apapun. Tak ada suara jangkrik atau gesekan daun pepohonan. Hanya desahan napas mereka dan suara langkah kaki mereka yang terdengar. Tanah jalan setapak itu keras, seperti batu. Jalannya kecil dan rumput setinggi mata kaki tumbuh sepanjang sisinya. Tak begitu terlihat jelas, apakah rumput itu berwarna hijau atau hitam. Kurangnya cahaya membuat mereka berjalan sehati-hati mungkin.
Semakin lama mereka berjalan, semakin dalam mereka memasuki hutan itu. Udara di sekitar mereka semakin dingin. Angin malam berhembus pelan, tanpa menggoyangkan dedaunan sedikitpun. Mereka semakin mengetatkan jaket mereka. Kira-kira sudah setengah atau satu jam-an mereka berjalan. Kaki mereka mulai pegal dan lemas. Tapi kotak yang ada di saku jaket Ozy belum juga berdering, artinya gerbang itu masih jauh.
Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar, merileks-kan otot-otot mereka yang menegang. Mereka duduk melingkar di jalan setapak. Mereka tak berani bergeser sedikitpun dari jalan setapak itu. Perut mereka mulai keroncongan, tapi tak ada makanan yang bisa mereka temukan di sana. Keadaan yang sangat gelap, tak memungkinkan mereka untuk mencarinya.
"Sekarang jam berapa sih?" tanya Acha. "Sepertinya kita sudah berjalan cukup lama."
Ozy memandangi jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya, dia mendekatkan kunci emas itu supaya dapat melihat lebih jelas. Jarum pendek dan panjang pada jam itu berhenti pada angka dua belas, bahkan jarum detiknya pun berhenti di sana. Tak bergerak sedikitpun. Ozy mengerutkan keningnya, dia mengangkat wajah dengan kecewa.
"Sial! Jamku mati!" kata Ozy kesal. "Kalian bawa jam?"
Ray dan Acha menggeleng bersamaan. "Apa lebih baik kita istirahat di sini dulu sampai keadaan cukup terang?" saran Ozy.
"Sebaiknya begitu. Kita sudah terlalu lelah untuk melanjutkan," kata Acha setuju.
Mereka duduk dalam diam. Tak tahu apa yang harus dibicarakan. Tak sedikitpun kantuk menyerang mereka. Merasa aneh kalau berdiam terus sampai pagi tiba, Ray mulai membicarakan masa kecilnya yang memalukan. Tapi itu bisa membuat mereka tertawa. Mereka bergantian menceritakan pengalaman mereka.
Sudah berjam-jam mereka bercerita dan tertawa, perut mereka sudah keroncongan lagi. Tapi yang membuat mereka heran, matahari yang ditunggu-tunggu belum muncul juga, bahkan tak ada cahaya samar-samar sedikitpun dari langit. Semuanya hitam pekat, tak ada yang lain, tak ada bintang, bulan, atau kunang-kunang.
"Kenapa masih sangat gelap?" tanya Acha mulai cemas. "Aku rasa kita sudah berjam-jam menunggu di sini."
Ozy mengangguk setuju, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
"Apa tak ada sedikitpun makanan di sini? Aku sudah sangat kelaparan," kata Ray sambil memegangi perutnya.
Ozy dan Acha juga kelaparan. Kalau saja ada cahaya yang menerangi tempat itu, mereka bisa saling melihat kalau bibir mereka mulai pucat. Tiba-tiba saja perasaan bersalah mengganggu pikiran Ozy. Dia berpikir kalau dialah yang menyebabkan kedua temannya ikut kesusahan seperti ini.
"Maafkan aku." Ozy menunduk. "Karena akulah kalian jadi ikut menderita begini."
"Tidak! Ini bukan salahmu. Kami yang memutuskan untuk ikut. Kau ingat! Kau tidak memaksa kami, bahkan kau menyuruh kami pulang kalau kami takut," kata Acha. Ray mengangguk setuju.
Ozy tersenyum pada mereka berdua. "Thanks... Apa kita mau terus berjalan atau mencari makanan dulu?" tanya Ozy.
"Maunya sih makan dulu, tapi kita cari dimana?" kata Ray.
"Kita bisa mencarinya ke sebelah kiri, atau kanan kita. Setelah itu kita kembali lagi ke jalan setapak ini," saran Ozy.
"Tapi akan sulit sekali mencarinya, keadaan masih sangat gelap," kata Acha.
"Kita bisa menggunakan ini." Ozy mengangkat kunci emasnya. "Cahayanya cuktp terang untuk tempat segelap ini. Atau kita berjalan terus dulu, baru mencari makanan?"
"Sebailnya kita berjalan terus dulu," kata Ray yakin.
Mereka berdiri dan melanjutkan kembali perjalanan. Ini merupakan pengalaman pertama mereka yang aneh dan menegangkan.
Tak ada yang berubah dari perjalanan sebelumnya, setelah cukup lama berjalan. Mereka tetap berjalan pada jalan setapak dengan ditemani kegelapan. Perut mereka terus keroncongan, meminta untuk segera diisi. Limabelas menitan kira-kira mereka berjalan, tapi tak terlihat ada tanda-tanda pintu gerbang di depan mereka. Juga tak ada tanda-tanda akan datangnya pagi. Rasanya seperti berjalan dalam sebuah lingkaran, berputar-putar. Tak ada perubahan waktu.
Mereka mulai putus asa dan memutuskan untuk berhenti lagi. Ozy menselonjorkan kakinya, begitupun dengan Ray. Acha mencekap kaki dengan kedua tangannya dan mulai ketakutan. Butiran-butiran bening mulai bermunculan dari kedua matanya. Tak ingin dia menangis, tapi butiran-butiran bening itu terus mengalir dari matanya. Dia menahannya supaya tidak mengeluarkan suara isakan. Dia tak mau membebani kedua sahabatnya.
Ray dan Ozy tak menyadari kalau Acha menangis, cahaya dari kunci emas tak cukup menerangi wajah Acha yang mengeluarkan air matanya. Ray menghembuskan napas keras-keras.
"Kalian merasa tidak? Kalau dari tadi, rasanya kita berputar-putar terus?" tanya Ray. Suaranya bergema seperti dalam ruangan.
Ozy mengangguk pelan, meskipun itu percuma karena Ray tidak melihatnya. "Ya, aku juga merasakannya. Tak ada yang berubah. Jalan setapak, kegelapan, keheningan dan angin malam. Yang berubah hanya keadaan kita yang bertambah lemah. Ketika masuk tadi, aku merasakan ada yang menekanku dari belakang."
"Ya, aku juga merasakannya. Apa Uncle Jo mencoba membunuh kita?" tanya Ray lagi.
"Aku rasa tidak. Aku sudah menjadi tetangga sejak kecil. Dia baik dan ramah. Kalaupun iya, apa yang dia incar? Aku bukan orang penting baginya."
"Hmm... Betul juga. Aku jadi bingung."
"Ya. Dan aku masih merasa bersalah membawa kalian pergi bersamaku."
"Tidak. Itu bukan salahmu. Bukannya tadi sudah ku bilang begitu?"
"Ya." Ozy terdiam sebentar. "Acha? Apa kau tak apa-apa? Dari tadi kau diam terus," kata Ozy cemas dan memandang Acha.
Acha menarik napas dan menghembuskan nya perlahan-lahan. Dia mengumpulkan kekuatannya, supaya bisa mengeluarkan suara yang terdengar cukup kuat. "Aku baik-baik saja." Nada suaranya terdengar yakin, tapi hatinya mengatakan kalau dia sangat ketakutan.
"Kau yakin?"
"Ya!"
"Baiklah! Aku masih berharap matahari segera muncul." Ozy memandang langit yang hitam pekat. Pikirannya berputar dan berhenti tepat kemarin malan. Saat dia menerima banyak ucapan doa dan ucapan selamat ulang tahun. Juga hadiah-hadiah yang diterimanya. Kemudian ketika hampir tengah malam, Uncle Jo datang dan memberitahunya suatu rahasia yang sangat aneh. Dia mengajaknya ke Gunung Hurein untuk mencari gerbang yang disamarkan Adrian. Dan sekarang, dia terjebak bersama kedua sahabatnya dalam kegelapan yang pekat.
Ozy mulai membayangkan, apakah ada orang lain yang pernah memasuki daerah ini sebelumnya? Apakah mereka selamat? Bagaimana keadaan di dalam sini kalau siang hari? Apakah cerah atau hujan? Atau tetap gelap? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Ozy.
Ozy menghela napas. Bagaimana kalau dirinya terjebak di Gunung Hurein selamanya? Bagaimana kalau dia dan kedua sahabatnya mati di tempat itu? Dan berbagai kemungkinan buruk lainnya terus berputar dalam benak Ozy. Dia menggeleng cepat menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan itu dari otaknya. Dia yakin, dia dan kedua sahabatnya akan selamat.
Acha masih tak berhenti menangis, dia sangat ketakutan. Tapi dia juga tak mau menyusahkan kedua sahabatnya. Ada sedikit penyesalan di hatinya ketika kemarin malam dia akan terus menemani Ozy. Acha menggeleng pelan. Tidak! Dia tidak menyesal telah membantu Ozy. Tapi dia hanya takut sesuatu yang lebih buruk akan menimpanya lagi. Kematian, mungkin.
Ray tak banyak bicara lagi. Dia tak membayangkan akan berakhir seperti ini petualangannya. Mengerikan. Bahkan lebih mengerikan dari cerita-cerita horor yang pernah dibacanya. Dia takut akan banyak bermunculan hantu-hantu menyeramkan yang menghalangi perjalanan mereka. Jujur saja. Ray sebenarnya sangat takut gelap. Karena dalam cerita horor yang pernah dibacanya, gelap selalu identik dengan hantu. Membayangkannya saja sudah membuatnya merinding, apalagi kalau dia benar-benar mengalaminya. Ray menghela napas. Dia hanya bisa pasrah dengan kondisinya sekarang.
Benar-benar mimpi buruk telah mengutuk tempat itu. Ketika mereka sedang beristirahat fisik, karena jiwa mereka terus memikirkan nasib mereka selanjutnya. Kabut putih tipis mengelilingi mereka. Ray terperangah, ternyata imajinasinya sangat terlihat nyata. Dia tak menyadari kalau kabut itu bukan imajinasinya. Mereka masih terdiam, tak terpengaruh sedikitpun oleh adanya kabut-kabut itu. Mereka semua berpikir kalau kabut itu hanya imajinasi mereka saja.
Angin berhembus pelan, membelai kelopak mata mereka supaya tertidur. Dalam hitungan detik, ketiganya sudah tertidur di sana. Tangan Ozy menggenggam erat kunci emas dengan seluruh tangannya. Semua permukaannya tertutup, sehingga tak ada cahaya sama sekali di tempat itu. Semuanya kembali gelap, tanpa cahaya dan tanpa suara.
Kalau saja ada lampu yang menerangi tempat itu, kau bisa melihat ada beberapa makhluk aneh yang menyeret Ray dan Acha menjauhi jalan setapak tersebut. Entah sengaja atau mereka memang tak melihat ada ada Ozy di sana. Makhluk itu menjauh membawa Ray dan Acha, meninggalkan Ozy sendirian di jalan setapak itu dalam kegelapan.

@@@

Pada waktu yang sama di Kota Hurein...

Matahari sudah menampakkan diri, cahayanya yang jinga menyinari Kota Hurein. Semuanya mulai beraktivitas dengan semangat baru. Bibi Irna memasuki kamar Ozy. Dia melihat selimut menutupi sesuatu di tempat tidurnya. Ia tersenyum dan melangkah perlahan. Kemudian dia menarik selimut itu secara tiba-tiba. Wajah kesal yang diharapkannya muncul tidak ada. Di sana hanya ada guling yang sengaja di pasang memanjang, supaya menyerupai manusia. Bibi Irna melihat ada kertas di bawah guling tadi. Dia mengambilnya, tapi matanya masih menyapu ruangan itu.
"Ozy? Ozy?" Bibi Irna memanggil-manggil keponakannya, tapi tak ada jawaban.
Karena tak ada yang menjawab, dia duduk di kasur Ozy. Dia mulai membaca kertas yang ia temukan. Tulisan rapi Ozy terlihat di sana.

'Siapapun yang membaca ini. Mamah, Papa, Bibi Irna, Bibi Ema, atau Kak Rio. Maafkan Ozy karena gak meminta ijin dulu. Ozy sangat buru-buru tadi malam, Ray mengajakku berkemah. Acha juga sepertinya ikut, tapi gak tau juga kalau akhirnya dia berubah pikiran. Sekali lagi maafin Ozy. Kalian tak perlu mencemaskanku. Aku baik-baik saja. Sungguh...
-Ozy sayang kalian-'

Bibi Irna tak percaya membacanya. Dia keluar kamar dengan membawa surat itu. Dia hendak memberikannya pada Kakaknya, atau Ibunya Ozy. Ketika di dapur, dia tak melihat ada Bibi Ema di sana. Hanya Mamahnya Ozy yang ada di sana.
"Kak... Mana Bibi Ema?" tanyanya.
"Tadi dia bilangnya mau jenguk temannya yang sakit. Mana Ozy? Apa dia bangun?" kata Bibi Uchi, Mamahnya Ozy.
"Tidak. Dia tak ada di sana. Tadi aku menemukan kertas ini di kasurnya." Bibi Irna memberikan kertas itu pada Kakaknya.

Bibi Uchi menerima kertas itu dan membacanya. "Lebih baik nanti aku tanyakan pada Mamahnya Ray. Lebih baik segera bangunkan Rio, nanti dia terlambat." Bibi Uchi melipat kertas itu dan menyimpannya dalam sakunya. Dia kembali meneruskan pekerjaannya.

No comments:

Post a Comment

Gomawo~