Drrrttt! Drrrttt! Drrrttt!
Ponsel yang kuletakkan di atas meja bergetar. Aku beranjak, lantas mengambilnya yang semakin bergetar heboh. Ternyata Cakka, pacarku yang sering mendeklarasikan diri sendiri ganteng menelpon.
"Ada apa Cak?" ujarku dengan sebelah tangan yang masih sibuk memilih buku pelajaran untuk hari ini.
"Umm... Ag?" terdengar suaranya dari sebrang.
"Hmmm..."
"Aku mau kita putus," ujarnya lirih.
Aku berhenti sebentar dari memilih-milih buku pelajaran. Serasa ada tiba-tiba yang menghisap semua oksigen di ruangan ini, sesak sekali rasanya. Mataku memanas dengan sendirinya, mengundang beberapa tetes air untuk bergelung di ujung kelopak mata. Tapi apa yang harus kuperbuat? Memohon padanya untuk berpikir ualng? Memohon padanya untuk menjelaskan kenapa? Atau mungkin hubungan kami memang sudah waktunya berakhir? Memang, beberapa hari ini hubunganku dengannya sedang bermasalah. Aku menghela napas setelah beberapa detik mematung di tempat. Pada akhirnya ego gengsikulah yang menguasai. Kukumpulkan tenaga dan suara yang cukup santai untuk menanggapi pernyataannya, berusaha sekuat tenaga menghilangkan nada bergetar yang keluar dari mulutku.
"Ya kalo itu mau lo boleh aja," ujarku sesantai mungkin. Aku langsung memutuskan panggilan, lantas membantingnya ke kasur, aku masih sadar untuk tidak membantingnya ke lantai, tau diri kalau aku belum bisa mencari uang.
Dasar! Cakka bodoh! Oke lupakan dia! Dan jangan menangis! Sekuat tenaga aku mendoktrin diriku sendiri.
Huft... Tenang Ag, tenang. Aku mengelus dada, dan mengusap ujung mataku yang semakin siap menumpahkan segala isinya. Sekarang mending siap-siap berangkat sekolah. Hmm... Coba kita lihat. Jam pertama-kedua olahraga, berarti gak perlu bawa buku. Biasanya juga gak pernah nyatet. Abis tuh pelajaran Kimia, Bhs. Inggris, Matematika. Matematika? Perasaan ada PR deh. Aku membuka buku latihan matematikaku. Untung... udah dikerjain. Oke! Waktunya berangkat! Dan lupakan Si Cakka bodoh itu!
Aku mengecek seragam batikku beserta sabuknya di dalam tas. Karena jam pertama olahraga jadi aku memakai baju olahraga dari rumah. Aku juga tak lupa membawa uang tabungan teman-teman sekelasku untuk biaya study tour nanti supaya tidak terlalu memberatkan orangtua. Setelah semuanya siap, aku berjalan menuju ruang makan. Di sana sudah terlihat Papa, Mamah, dan Kakakku-yang makin terlihat seperti preman dengan rambut gondrongnya-Kak Riko.
Aku tak berniat sarapan. Setelah mendengar pernyataan Cakka tadi, mendadak perutku jadi kenyang. "Mah, Pa, berangkat dulu ya," pamitku lalu mencium tangan kedua orangtuaku.
"Gak sarapan dulu?" tanya Mamah.
"Gak lapar Mah," jawabku dan disambut anggukan mengerti kedua orangtuaku. "Kak Riko duluan!" kataku pada Kak Riko dan menepuk pelan punduknya.
"Hmm..." Kak Riko emang otaknya masih loading kalo pagi-pagi.
Aku segera menuju garasi dan menjalankan motorku. Aku gak boleh terlalu mengharapkan Kak Riko nganter tiap pagi sebelum dia berangkat kuliah, soalnya seperti yang kubilang tadi, otaknya selalu loading setiap pagi. Nanti malah aku yang celaka kalo di boncengin dia.
@@@
Aku sampai di sekolah jam 06.55. Sudah lumayan rame sih, tapi parkiran masih kosong. Murid-murid di sekolahku emang datangnya suka barengan, antara jam 06.52 atau 06.59 waktu yang rawan ketelatan, karena gerbang ditutup jam 07.00 teng.
Setelah memarkirkan motorku, aku berjalan menuju kelas XI-IA-3, kelasku tercinta yang anak-anaknya pada saraf semua. Mereka juga memakai baju olahraga, tapi ada juga yang tidak-sebagian besar adalah anak cewek-alesannya pasti males, bukan sakit seperti yang mereka bilang pada Pak Indra, guru olahraga.
"Woi! Buruan ke lapang belakang. Pak Indra udah di sana," teriak Gabriel sang ketua kelas.
Seperti biasa kami tidak langsung mematuhi panggilannya. Ada yang malah duduk-duduk santai, malah teriak-teriak, atau nyanyi-nyanyi, dan kegiatan maha gak penting lainnya.
Aku masih menarik-narik Oik-teman sebangku ku-untuk segera pergi ke lapang. Tapi Oik malah nempel ke kursi makin erat. Pake lem kali ya pantatnya.
"Ayo Iiiiiik," kataku menarik-narik tangannya.
"Duluan aja. Masih pengen di sini," katanya memasang tampang malas.
"Gak mau. Pokoknya bareeeeng."
Aku melihat Oik mengerling Gita dan Ify, lalu mereka mengangguk bersamaan. "Hhhhh yaudah, yuk," Oik tersenyum, bangkit dari duduknya, dan menyeretku keluar kelas. Sebelum benar-benar keluar kelas, aku memandang Gita dan Ify yang masih senyum-senyum. Lalu memandang Oik yang masih mempertahankan senyumannya. Kenapa sih mereka? Kerasukan? Aku bergidik ngeri memikirkan pikiranku sendiri.
Setelah pelajaran olahraga selesai kami langsung disambut oleh Kimia tercinta, yang langsung membuat kami kenyang setelah menikmatinya. Berhubung gurunya gak terlalu killer jadi banyak diantara kami yang tidak ganti baju-termasuk aku hhe-biasanya kami ganti baju pas pelajaran terakhir doang. Maklum guru Matematika kami tim ketertiban yang terlalu menegakkan kedisiplinan.
@@@
"Ag. Gue mau ambil duit tabungan gue dulu dong. Ada perlu," kata Sivia padaku ketika istirahat pertama.
"Iya. Bentar." Aku mencari uang tabungan yang tadi pagi kumasukkan dalam tas. Tapi. Lho? Kok gak ada? Perasaan tadi di masukin sini deh bareng buku tabungannya. Buku tabungannya ada kok, tapi duitnya ilang. Wah gawat! Padahal banyak banget tuh duit, gak mungkin gue bisa ganti.
Aku terus mengobrak-abrik tasku, barangkali terselip di buku. Tapi setelah dicari di setiap lembar buku-bukuku tetap gak ada. Mungkin di kolong bangku. Aku melongok memandang isi kolong bangkuku. Ada buku paket Kimia, Matematika dan kertas Spoof teks tugas Bhs.Inggris. Tapi gak ada uang sepeser pun di sana. Aku mulai panik. Memandang Sivia sebentar, terlihat Sivia mengerutkan kening, aku mengobrak-abrik tasku lagi.
"Kenapa Ag?" tanyanya.
Kali ini aku memandang Sivia lama sebelum aku menjawab pertanyaannya. "Uangnya ilang Vi," kataku lirih. Sivia menutup mulutnya kaget. Selama beberapa menit aku masih memandang Sivia yang terlihat kaget. Kemudian aku menunduk, aku merasakan sesuatu yang hangat membasahi mataku, membuat penglihatanku sedikit kabur.
Aku tak percaya ini. Aku menangis. Sesuatu yang aku sangat membencinya. Padahal dari pagi tadi aku sudah berusaha menahan air mataku supaya tidak keluar. Makin lama air mataku makin banyak yang keluar, mereka terus berdesakan membobol pertahananku. Aku mengusapnya berkali-kali.
"Agni?" Aku mendengar suara kaget Oik. "Lo kenapa?"
Aku tak bisa menjawab, aku terlalu panik. "Uang tabungan yang buat study tur ilang." Aku mendengar suara Sivia menjawab pertanyaan Oik. Aku masih belum berani memperlihatkan air mataku di hadapan mereka. Aku merasakan Oik mengusap pelan punggungku. Aku tahu dia mencoba menenangkanku. Tapi aku tetap tak bisa tenang, aku masih terus menangis.
"Ilangnya berapa?" tanya Oik lagi.
"Se-mu-a-nya," jawabku sesenggukan. Kalau Kak Riko lihat aku nangis, pasti dia bakalan ngejek aku berminggu-minggu.
"Iya. Jumlahnya berapa?" Kali ini Sivia yang bertanya.
"E-nam-ra-tus-ri-bu," jawabku masih senggukkan.
"Lo yakin uangnya lo bawa? Siapa tahu ketinggalan di rumah?" tanyanya lagi.
"A-ku-ya-kin-ba-nget-so-al-nya-ta-di-a-ku-ma-suk-kin-ba-reng-bu-ku-ta-bu-ngan-nya."
Aku merasakan udara di sekitarku makin panas. Aku memberanikan mengangkat kepala. Banyak teman-teman sekelasku mengerumuni bangku. Aku melihat mereka berbisik-bisik. Sebagian mencoba menenangkanku.
Gabriel terlihat menyeruak diantara kerumunan para cewek, menyuruh mereka minggir sambil bertanya 'Ada apa?' Dia menyuruh Oik minggir dari kursinya dan dia sendiri duduk di sebelahku.
"Lo kenapa Ag?" tanyanya.
"Duit tabungan ilang," jawab Oik. "Enam ratus ribu."
Aku bisa melihat kekagetan di wajah Gabriel, tapi ada yang aneh, ekspresinya seperti dibuat-buat. "Lo yakin duitnya ilang?" tanyanya. Aku menganggukkan kepala.
"Uangnya gimana? Sera-" sebelum dia menyelesaikan kata-katanya bel masuk berbunyi, bertepatan dengan masuknya Bu Oky, guru Bhs.Inggris.
Aku tidak mendengar apa-apa lagi setelah Bu Oky mengucapkan salam. Gabriel masih duduk di sebelahku dan Oik terpaksa duduk di bangku Gabriel, bersama deretan bangku cowok lainnya bareng Obiet. Gabriel kembali bertanya dengan berbisik.
"Uangnya seratus ribuan atau lima puluh ribuan?"
"Se-ra-tus-ri-bu-an-se-mu-a-nya." Aku masih sesenggukan ketika menjawab pertanyaannya, tapi berusaha suara yang keluar tidak terlalu keras. "Gi-mana-kalau-a-ku-la-por-guru?" tanyaku.
"Jangan. Jangan," kata Gabriel cepat dan membuatku bingung. "Um... maksudku, lebih baik cari yang benar dulu kalau benar-benar ilang baru lapor guru. Lo gak mau kan kelas kita beredar dengan gosip miring?" katanya. Aku menggelengkan kepalaku.
Kami melewati pelajaran Bu Oky selanjutnya dalam diam. Aku tak bisa konsentrasi, pikiranku melayang kemana-mana. Kenapa hari ini begitu sial? Tadi pagi Cakka minta putus. Sekarang uang tabungan kelas ilang. Aku tak menyadari kalau pelajaran Bu Oky sudah selesai. Oik meminta kembali kursinya dan menyuruh Gabriel pergi. Katanya duduk di deretan bangku cowok berisik. Mereka malah sibuk membicarakan game terbaru, bahkan Si Kalem Obiet pun ikut-ikutan.
Pikiranku sudah mulai cerah sekarang. "Ik. Apa aku lapor guru aja ya, kalo uangku ilang," kataku tanpa sesenggukkan lagi.
Oik memandangku. "Tadi kan kata Gabriel jangan dulu, cari dulu yang betul," katanya.
Aku mengerutkan kening. "Kok lo tau dia bilang gitu?"
"Eh? Um... Barusan Iyel bilang. Ho oh barusan Iyel bilang."
Aku baru saja akan menyangkal perkataannya, ketika Pak Duta guru Matematika datang. "Selamat siang anak-anak."
"Siang Paaak."
"Oke. Sudah dikerjakan PR-nya?"
Kami semua diam, membolak-balik buku PR kami. Aku yakin mereka semua belum mengerjakan sampai tamat. PR-ku juga belum semua, ada soal yang intruksinya kurang jelas. Di sana tertulis mencari x dari 3 variabel yang hanya diketahui salah satunya. Jelas sekali itu tidak bisa dicari. Semoga soal itu 'dianolir'.
"Belum?" tanya Pak Duta memecah keheningan kelas. Tak ada yang menjawab, beliau melanjutkan. "Baiklah. Debo kerjakan nomor 1, dan Agni nomor 2."
Ya Tuhan. Kesialan memang sedang berpihak padaku hari ini, aku disurh mengerjakan soal yang intruksinya gak jelas itu. Aku mau menyangkal, tapi gak berani. Mending jelasin sambil mengerjakan di depan. Dengan langkah gontai aku berjalan ke depan membawa buku latihanku.
Aku melihat Debo mengerjakan hampir selesai, dia memang jago Matematika. Waktu kelas X dia mewakili sekolah dalam lomba 'olympiade' matematika se-kota. Aku menulis kembali soal yang ada di buku. Lalu aku tulis jawabannya 'Tidak bisa dicari karena hanya salah satu variabel saja yang diketahui'. Aku kira Pak Duta akan membenarkan jawabanku, tapi aku salah. "Kemarin Bapa sudah jelaskan soal yang seperti ini. Tidak boleh duduk dulu sebelum mengerjakannya dengan benar," katanya, ada nada marah pada suaranya.
Aku mengambil buku catatanku meneliti setiap catatanku di depan kelas. Menghubungkannya dengan soal yang sedang ku kerjakan. Aku tak berani memandang Pak Duta dan teman-temanku. Aku terus menunduk memandang catatanku, tapi tak ada contoh soal yang seperti itu dalam buku. Aku yakin, pasti soalnya salah, mungkin Pak Duta kurang teliti. Tapi mana mungkin, yang aku tahu Pak Duta guru yang paling teliti dan disiplin di sekolah.
Bel jam ke tujuh sudah berbunyi. Tinggal satu jam pelajaran lagi menuju pulang. Aku sudah tak tahan ingin pulang. "Sudah satu jam pelajaran kamu di situ. Sudah enam soal yang dikerjakan teman-temanmu. Mau sampai besok di situ?" kata Pak Duta. Nadanya terdengar tenang, tapi menyakitkan.
Aku merasakan semua mata yang ada di kelas menatapku, tapi aku tak mau berbalik. Aku terus menghadap white board dan meneliti setiap centi catatanku. Aku sesekali mendengar Pak Duta membicarakan seseorang yang membuatnya marah dari tadi pagi sampai sekarang. Tapi kenapa aku yang kena? Terdengar bunyi bel jam terakhir pelajaran.
Aku mendengar suara langkah kaki Pak Duta mendekat. "Agni? Kamu kenapa? Ada masalah? Masa selama dua jam pelajaran tidak bisa mengerjakan satu soal pun?" kata Pak Duta.
"Uangnya hilang, Pak," kata salah seorang temanku, tapi aku gak tahu itu siapa.
"Betul itu?" tanya Pak Duta lagi.
Aku menganggukkan kepala. Lalu aku merasakan sesuatu yang hangat keluar dari mataku, membuat pandanganku sedikit kabur. Aku kembali menangis.
"Kenapa gak bilang dari tadi? Kan kalau Bapak tahu lagi ada masalah, Bapak juga gak akan nyuruh Agni mengerjakan," kata Pak Duta, terdengar nada penyesalan dalam perkataannya. "Sudah lapor guru?" Aku menggeleng. "Kapan hilangnya?"
"Pas olahraga Pak. Jam pertama," jawab temanku yang aku tak yakin siapa. Karena aku terus menunduk. Aku benci situasi ini. Aku benci menangis.
"Kenapa gak laporan dari tadi? Eh... Itu ada Pak Iwan. Bentar Bapak panggil." Aku melihat Pak Duta berjalan keluar kelas dari ujung mataku. Dan kembali dengan Pak Iwan, satpam sekolah.
"Ini Pak, Agni kehilangan uang," kata Pak Duta.
Pak Iwan manggut-manggut. "Baik. Semua ke depan kelas. Gabriel, Irsyad, bantu bapak dan Pak Duta menggeledah tas kalian." kata Pak Iwan.
Aku masih sesenggukan di depan kelas, Oik dan Sivia membantuku duduk di bangku deretan depan. Mereka mencoba menenangkanku. Tapi pikiranku terus berputar dari kejadian tadi pagi sampai sekarang. Semuanya kejadian sial. Kemudian setelah beberapa lama aku mendengar suara Pak Duta dari belakang kelas.
"Tas siapa ini?" tanyanya sambil membawa tas hitam besar dan berjalan ke depan kelas.
Aku tak percaya melihatnya. Itu tas Goldi. Gak mungking dia yang mengambilnya.
"Uangnya seratus ribuan semua kan?" tanya Pak Duta. Aku mengangguk. "Bapak menemukan uang ini di dalamnya. Tas siapa ini?"
"Saya, Pak." Goldi mendekati Pak Duta.
"Ini uang apa?" kata Pak Duta marah.
Goldi terdiam sebentar. "Uang Agni, Pak," katanya pelan. Tak ada nada takut atau penyesalan dalam suaranya. Aku masih memandangnya tak percaya sebelum suara anak-anak bergaung di dalam kelas.
"Happy b'day to you... Happy b'day to you..." Nyanyi anak-anak. Aku tambah keras menangis. Tak tahu harus berbuat apa, marah-marah atau terharu. Banyak anak-anak yang mengacak-ngacak rambutku.
"Pak Duta sama Pak Iwan ambil bagian lho," teriak Ify.
Pak Duta dan Pak Iwan menyalamiku, aku tersenyum sedikit. Kemudian beliau mengucapkan kata-kata bijak sebelum pergi meninggalkan kelas.Anak-anak mengucapkan terimakasih berkali-kali kepada Pak Duta dan Pak Iwan. Aku mendengar Pak Duta berbicara "Tak mungkin ya, kita bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat kalau lagi banyak pikiran. Betul sebenarnya jawaban Agni tadi. Soal itu tidak dapat diselesaikan." Kali ini nadanya lembut menenangkan.
Setelah beberapa lama mucul seseorang yang mengawali hariku dengan sesuatu yang buruk, dan membuatku benar-benar lupa kalau ini adalah hari ualang tahunku. Aku mengacuhkannya ketika dia mengajakku berbicara.
"Bukankah kita udah putus?" kataku sengit.
"Ag. Tadi pagi aku cuma bercanda, lagian Oik yang nyuruh. Kita baikan ya?" kata Cakka. Aku tetap mengacuhkannya. "Ik! Tanggung jawab lo," kata Cakka pada Oik.
"Agni... Maafin kita dong. Oke deh kita ngaku salah," kata Gabriel. "Lo kan selaku bendahara kelas pasti ribet ngurusin duit, jadi kita uji dikit biar kebal. Hehe... Tadi pas olahraga Ify sama Gita ngambil uang lo. Terus disimpen di tas Goldi. Supaya kesannya kaya beneran, jadi kita minta bantuan Pak Duta dan Pak Iwan selaku tim ketertiban."
Aku memandang mereka semua yang balas memandangku penuh harap. "Oke deh. Gue maafin. Thanks ya."
Mereka bersorak gembira. "Ini ide Kak Riko lho," kata Oik. "Tunggu aja entar kejutan mereka di rumah lo. Pasti heboh deh."
Hah! Kak Riko? Gak salah?
"Cakka juga nyumbang ide lho," tambah Gabriel.
Aku memandang Cakka, dia balas memandangku dan tersenyum konyol sebelum berbicara. "Lo maafin gue kan?"
Aku diam agak lama, lalu tersenyum setulus mungkin, "Iya... Gue maafin lo. Thanks ya." Cakka memelukku di depan anak-anak yang langsung pada nyorakin. Sumpah! Malu banget! Gila nih Si Cakka.
"Woi! Udah dong pelukannya. Tuh ada yang mau ketemu Agni di luar," teriak Debo.
"Ah De! Lo mah ganggu orang seneng aja," kata Cakka kesal dan melepaskan pelukannya.
Siapa lagi sekarang? Aku berjalan keluar kelas, dan... 'Wuuuurrr' air bekas cuci piring di kantin mengguyur tubuhku. Wuek! Jijik juga, tapi untung bau jus jambu, bukan bau anyir.
Aku gak tahu hari ini harus dibilang hari terburuk atau hari terbaik. Apapun itu, aku sangat sangat sangat kesal. Tapi aku berterimakasih pada Tuhan, karena sudah memberiku keluarga dan teman-teman yang baik. Mamah, Papa, Kak Riko, Oik, Cakka, Gabriel, semuanya terimakasih. Kalian semua sudah membuatku semangat menjalani hidup ini.*
No comments:
Post a Comment