Monday, 22 March 2010

Sepuluh : Akhir

Akhir

Matahari masih bersinar, memancarkan cahaya jingganya sore itu. Ozy duduk sendirian di pinggir danau. Tangannya memain-mainkan sehelai daun yang tadi dipetiknya.
Sudah enam tahun berlalu semenjak gerbang Barbush dibuka. Ray sudah mulai merelakan Olivia di kehidupan barunya, dia sudah mempunyai incaran baru. Keke, gadis manis yang sedikit pendiam. Rio juga sudah mulai merelakan hubungan Cakka dengan Agni. Sekarang dia mulai dekat dengan salah satu gadis teman kuliahnya, namanya Ify. Sementara Cakka dan Agni sudah tunangan, tak ada yang menyangka mereka akan tunangan. Ray dan Acha benar-benar akan menjadi saudara ipar. Hubungan Ozy dan Acha pun semakin membaik, mereka saling melengkapi dan mengingatkan. Tak ada yang mengerti, bagaimana perasaan kedua anak itu.
Gerbang menuju Barbush sudah ditutup kembali, menurut Ozy lebih baik tak ada manusia lagi yang berkunjung ke sana. Efeknya bisa terlalu berbahaya. Kaum Barbush setuju, lebih baik mereka memulai hidup mereka masing-masing. Obiet dan Oik, Si Peri Hutan, masih tinggal di pedalaman Gunung Hurein. Setiap akhir pekan, Ozy, Ray, dan Acha selalu berkunjung ke sana. Menikmati masakan Oik yang lezat. Kunci emas yang membuka Gerbang Barbush sudah Obiet hancurkan.
Ozy memandang danau itu dalam diam, dia menikmati setiap udara yang dia hirup. Menyegarkan. Udara sore selalu membuatnya tenang. Seseorang di kejauhan mengawasinya. Orang itu mendekat dan duduk di samping Ozy.
"Ternyata kau di sini. Tadi aku ke rumahmu, tapi kau tak ada di sana," kata orang itu.
Ozy menoleh. Orang itu tersenyum, sapuan angin menggerakkan poni dan rambutnya yang sedikit ikal. Ozy balas tersenyum. Dia selalu merasa nyaman jika berada di sisi orang itu. Acha. Sahabatnya paling peduli dan perhatian padanya dan Ray.
"Mau apa kau menemuiku?" tanya Ozy. Dia mengalihkan tatapannya pada danau di depannya. Airnya bergelombang kecil ketika tertiup angin.
"Tak apa-apa... Aku hanya ingin bertemu denganmu," jawab Acha. Wajahnya memerah ketika dia mengucapkan itu. "Kalau kau keberatan, aku bisa pergi." Acha hendak berdiri, namun kata-kata Ozy menghentikannya.
"Jangan! Temani aku di sini. Tentu saja kalau kau tak keberatan," kata Ozy tanpa sedikitpun memandang Acha. Acha tersenyum dan duduk kembali di samping Ozy. "Aku ingin sebentar lagi di sini."
Ozy menggenggam jemari Acha, dia tak mau lagi kehilangan sahabatnya itu. Wajah Acha kembali merona. Rasa hangat itu kembali dirasakannya ketika Ozy menggenggam tangannya. Rasanya nyaman dan menenangkan. Ozy memandang Acha sebentar, dia tersenyum sangat tulus. Acha menghela napas, mencoba menstabilkan detakan jantungnya yang terlalu cepat.
"Senang rasanya bisa kembali pada kehidupanku yang normal, setelah menyelesaikan beberapa tugas yang tak masuk akal. Thanks... Kau telah mau membantuku, ikut menderita bersamaku. Kau memang sahabatku yang paling baik," kata Ozy lirih sambil tersenyum. "Aku sangat beruntung bisa mengenalmu."
Acha membalas senyum Ozy. Rasanya ada sesuatu yang sedikit membuat Acha kecewa. Ozy masih menganggapnya sahabat. Tapi suatu saat nanti, dia ingin, Ozy menganggapnya lebih dari sekedar sahabat. Acha memejamkan matanya, ikut menikmati udara sore yang sangat menenangkan. Matahari sudah tak tampak, sebagai gantinya langit berhiaskan mega berwarna jingga membuat akhir hari itu menjadi sempurna.



=The End=

No comments:

Post a Comment

Gomawo~