Monday, 15 March 2010

Sembilan : Town Gate of Barbush

Town Gate of Barbush

Pagi itu Cakka, Agni, Rio, dan orangtua mereka sudah berada di rumah Pak Duta. Semalam Pak Duta mendapat kabar dari Obiet, bahwa adiknya akan mengantar anak-anak itu ke rumahnya. Pak Duta langsung memberitahu mereka supaya pagi ini datang ke rumahnya.
Agni duduk di tengah-tengah Cakka dan Rio, baru kali ini dia menangis begitu lama. Agni menutup wajahnya dengan kedua tangan, Cakka yang sekarang sudah menjadi pacarnya mencoba menenangkan. Dia mengusap-ngusap punggung Agni. Rio melihat mereka tanpa bicara apa-apa. Ingin sekali, rasanya dia berada di posisi Cakka. Merangkul Agni dan menenangkannya. Tapi itu tak mungkin, Rio masih punya perasaan. Tak mungkin dia begitu saja memeluk Agni, sementara Cakka ada di sana. Rio menghela napas, mencoba merelakan Agni untuk Cakka.
- - - - - - - - - - -
"Kalian jangan bicara apapun padaku. Manusia lain tak bisa melihatku," kata Oik. Sekarang mereka sudah sampai di halaman rumah Pak Duta.
"Apa Pak Duta juga tak bisa melihatmu?" tanya Acha.
"Bisa... Hanya kalian dan Pak Duta yang bisa melihatku. Kalau kalian tak mau dianggap gila, jangan bicara denganku di hadapan mereka." Ray dan Acha mengangguk. Ketika sampai di pintu depan, Oik menghentikan langkah mereka. "Tunggu!" Ray dan Acha berbalik menghadap Oik. "Kalian jangan lupa, katakan kalau Ozy masih ada keperluan, dan dia baik-baik saja."
Ray dan Acha hanya mengangguk. Ray membuka pintu depan. "Permisi..." kata Ray dan Acha bersamaan. Semua yang ada di ruang tamu menoleh, memandang mereka. Agni yang dari tadi menunduk memandang ke arah pintu. Seorang anak laki-laki gondrong dan kotor berdiri di dekat pintu.
Agni langsung berlari mendekat dan memeluk Ray, adik satu-satunya. "Kau! Kau kemana saja!" kata Agni marah, tapi air matanya terus bercucuran. "Kau pikir dengan menghilangnya dirimu akan membuatku luluh?! Kau salah! Kau menyusahkan ku! Menyusahkan kami! Seharian aku mencarimu! Memangnya kau ini siapa?! Pergi gak bilang-bilang! Dasar bodoh!" Nada bicara Agni semakin meninggi. Ray tak bisa menahan air matanya, dia tahu, meskipun Agni galak, dia sangat perhatian padanya. "Ray... aku rindu padamu," kata Agni lirih. Dia langsung memeluk Ray, air matanya semakin banyak keluar. Ray balas memeluk Agni, dia sangat rindu dengan kakaknya itu.
"Di mana Ozy? Apa mereka bertemu kalian?" tanya Rio, membuat mereka semua menoleh padanya.
Ray memandang Acha yang sedang bersama Cakka, kakaknya. Ray mengangguk, memberi kode pada Acha supaya dia yang bicara.
"Ozy..." kata Acha menggantung. "Masih ada keperluan lain di sana. Tapi dia bilang, dia baik-baik saja dan akan segera kembali."
Rio tersenyum pahit mendengar semua itu. Dia tahu, dia mulai rindu pada sikap juteknya Ozy terhadapnya. "Ya... Mungkin memang seharusnya begitu. Setidaknya, aku masih terbebas beberapa hari lagi darinya," kata Rio santai, tapi ada kesedihan dalam nada bicaranya.
Cakka menghampiri Rio, dia merangkul sahabatnya itu. "Kau jangan khawatir, Acha bilang dia baik-baik saja," kata Cakka.
Rio memandang Cakka dan tersenyum tipis. "Ya... Dia baik-baik saja," kata Rio. Tapi dia tak terlalu yakin dengan ucapannya itu.

@@@

Hari sudah hampir petang, semburat-semburat jingga bermunculan di langit. Ozy memandang langit sambil memikirkan kedua sahabatnya. Apakah mereka sudah bersenang-senang? Apakah mereka menceritakan semua yang mereka alami? Apakah Kak Rio merindukannya?
Suara seseorang yang duduk di sampingnya membuyarkan lamunannya. "Apa kau memikirkan mereka?" tanyanya.
Ozy memandang Oik yang duduk di sampingnya. "Ya... Bagaimana mereka sekarang? Apa Kak Rio merindukanku? Atau dia malah bersyukur aku tak ada?" kata Ozy. Tatapannya menerawang, entah apa yang ia pandang.
"Kakakmu sangat merindukanmu. Dia menyayangimu," kata Oik dan tersenyum. "Kau rindu padanya?" Ozy mengangguk.
"Lebih baik aku segera menemui Obiet, dan menanyakan apa yang harus ku perbuat." Ozy berdiri dan melangkah memasuki rumah.
Ketika dia masuk, ada seseorang yang sedang bicara dengan Obiet. Orang itu tersenyum. "Pak Duta?" kata Ozy tak percaya.
"Hallo! Kau masih benci padaku?" kata Pak Duta sambil tersenyum. Ozy menunduk malu. "Kemarilah! Ada yang ingin kami bicarakan denganmu."
Ozy mendekat dan duduk di samping Pak Duta. "Maafkan aku... Selama ini aku selalu bersikap kasar padamu," kata Ozy menunduk.
Pak Duta tersenyum, dia mengusap punggung Ozy. "Aku sudah memaafkanmu. Aku juga salah, aku terlalu sering menghukummu. Tapi yang penting, kau sudah berubah sekarang."
"Syukurlah... Akhirnya masalah di antara kalian selesai. Dan kau..." kata Obiet dan memandang Ozy. "Kau tak akan memanggil Pak Duta lagi dengan sebutan Si Ker..."
"Obiet? Apa yang akan kita lakukan sekarang?" kata Ozy buru-buru memotong perkataan Obiet.
Pak Duta memandang mereka semua bingung. "Kau tak akan menyebutku apa?" tanya Pak Duta pada Ozy.
"Eh... Mmm... Bukan apa-apa... Kau tahu? Semacam lelucon... Iya kan Biet?" kata Ozy dan memandang Obiet. Obiet tersenyum geli melihat tingkah Ozy.
"Mmm... Aku masih belum mengerti... tentang... kalian tahu? Bulan yang membekukan bumi," kata Ozy memandang Pak Duta dan Obiet bergantian.
Obiet menghela napas sebelum ia bicara. "Itu bukan arti sebenarnya, semacam kiasan. Aku dan Adrian memilih malam yang tepat setelah kelahiranmu, pada malam itu, bulan tak bersinar seperti biasanya. Bulan akan berwarna jingga dan ada semburat biru di sekelilingnya. Bulan itu akan membuat malam menjadi diam, tak ada suara binatang malam, tak ada angin malam. Semua beku, atau istilah lainnya kaku. Tak bergerak." Obiet menghela napas lagi. "Dan bulan itu akan muncul malam ini."
"Dari mana kau tahu bulan itu akan muncul?" tanya Ozy.
"Aku dapat merasakannya. Auranya sangat jelas, aura Adrian," jawab Obiet. "Nanti malam aku akan mengajakmu menuju gerbang itu. Istirahatlah... nanti malam aku akan membangunkanmu."
Ozy mengangguk, dia berjalan menuju kamar. Sebelum tidur ia sempat memikirkan, apa yang akan terjadi selanjutnya.

@@@

Bulan sudah muncul, warnanya seperti yang Obiet katakan, jingga dan semburat biru. Ozy menengadah memandang bulan yang baru ia lihat pertama kali. Indah, sangat indah. Seperti matahari sore yang beku. Udaranya hangat, mungkin karena angin malam tak berhembus. Ozy memandang Obiet yang berjalan di sampingnya. Aura itu muncul lagi, aura pemimpin. Begitu anggun sosok Obiet yang terkena cahaya bulan.
"Kenapa?" tanya Obiet yang merasa di awasi.
Ozy menggeleng pelan. "Tidak... Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, apakah gerbangnya sudah dekat?" tanya Ozy.
"Hampir. Di depan sana," jawab Obiet menunjuk deretan pohon di hadapannya.
Mereka terus berjalan, menuju deretan pohon itu. Berjajar rapi, pohon itu seperti sengaja ditata sedemikian. "Apa Pak Duta akan datang?" tanya Ozy.
"Ya... Sebentar lagi, jika gerbang itu sudah terbuka," jawab Obiet.
Mereka akan memasuki deretan pohon itu, ketika tiba-tiba sesuatu yang besar berkelebat menghalangi mereka. Ozy terjengkang ke belakang. Dia cepat-cepat berdiri dan memandang sosok itu. Dia bermantel bulu dan cukup gendut.
"Kalian tak akan semudah itu melakukannya," katanya. Suaranya sangat familiar di telinga Ozy. Ozy menyipitkan matanya dan memandang wajah sosok itu. Tidak salah lagi. Itu Uncle Jo, dengan mantel bulunya yang tebal.
Ozy memandang Uncle Jo dengan kemarahan besar. Dia sudah akan memukul Uncle Jo kalau saja Obiet tak menariknya.
"Jangan lawan dia! Tugasmu membuka gerbang, bukan melawannya," kata Obiet menarik tangan Ozy. Obiet memberikan kunci emas pada Ozy secara diam-diam. "Pergilah! Buka gerbangnya, ada di balik deretan pohon itu. Ingat! Jernihkan pikiranmu saat membukanya. Jangan ada dendam," bisik Obiet. Ozy mengangguk, tak mungkin dia protes dalam keadaan seperti ini. "Jangan menyia-nyiakan waktu. Tepat bulan itu ada di atas kepalamu, bukalah gerbangnya. Kau tak akan bisa membukanya sebelum tengah malam, kau juga tak akan bisa membukanya jika lebih satu detikpun dari tengah malam. Dan gerbang menuju Barbush tak akan terbuka selamanya. Begitu aku menyerang Uncle Jo cepatlah pergi. Kau mengerti?" jelas Obiet dengan berbisik. Ozy mengangguk, dia memegang kunci yang diberikan Obiet.
Obiet berbalik dan memandang Uncle Jo, memancarkan kembali aura pemimpinnya. "Kalau kau ingin menghalangiku... Lawan aku dulu!" kata Obiet lantang.
Uncle Jo tersenyum licik. Dia berubah ke wujud aslinya. Badannya bertambah besar, giginya bertaring, dan matanya merahnya berkilat-kilat. Dia mengayunkan tangannya, sebuah cakar besar hampir mengenai Obiet. Tapi Obiet segera menghindar, dia mengarahkan tangannya pada Uncle Jo, cahaya putih keluar dari tangannya. Tepat mengenai wajah Uncle Jo. Ozy segera berlari menuju deretan pohon. Ada untungnya juga dia memiliki sikap kurang peduli dengan orang lain.
Ozy mengira gerbang itu tepat di balik deretan pohon. Tapi dia keliru, gerbang itu lumayan jauh dari sana. Ozy berlari secepatnya. Cahaya putih dan biru saling berkelebat di belakangnya. Dia tahu Obiet dan Uncle Jo saling berbalas sihir. Ozy mendongak memandang langit. Bulan jingga itu hampir tepat di atas kepalanya. Ozy mempercepat larinya.
Gerbang itu sudah beberapa centi di depannya, dia memandang lagi ke atas bulan sebentar lagi tepat di atas kepalanya. Ozy mengulurkan kunci itu, hendak membuka gerbangnya. Tapi sebuah geraman keras di belakangnya membuat dia tak sengaja menjatuhkan kunci emas itu. Ozy berbalik, dan Uncle Jo sudah berdiri di belakangnya siap menerkam. Ozy mundur, dia meraba tanah, mengira-ngira kunci itu terjatuh di mana. Uncle Jo mengayunkan tangan, cakar panjang dan runcing keluar dari jari-jarinya. Ozy tak bisa bernapas, tiba-tiba saja dia merasa sesak. Uncle Jo mengayunkan tangannya, siap mencakar Ozy dengan kuku-kukunya yang tajam. Ozy menutup mata, dia pasrah jika ajal menjemputnya sekarang. Tepat ketika cakar-cakar itu hampir mengenai Ozy, kilatan cahaya putih mengenai badan Uncle Jo dan membuatnya ambruk.
"Aaaaaaggggrrrrhhhh!" Itulah jeritan terpanjang yang pernah Ozy dengar. Terlihat olehnya Obiet merangkak di antara pepohonan.
Ozy tersadar, dia segera mengambil kunci yang terjatuh. Dengan tangan gemetar dia mencoba memasukan kunci itu pada lubang gerbang. Ozy memandang ke atas, bulan itu masih belum bergeser, masih ada waktu beberapa detik untuk membukanya. Tangan Ozy semakin bergetar, berkali-kali kunci itu terjatuh. "Sial!" rutuk Ozy. Dia sudah semakin kesal.
Ozy mengambil napas, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Dia mencoba menenangkan pikirannya. Setelah cukup tenang, dia mengambil kunci emas yang terjatuh dan memasukannya ke lubang kunci yang ada pada gerbang. 'Klek' Terdengar kunci itu berputar. Angin malam berhembus, dinginnya kembali menembus tulang. Binatang malam mulai bersahut-sahutan. Burung hantu ber-'uhu-uhu' merdu. Ozy tersenyum, dia memandang ke atas. Bulan itu sudah bergeser dan warnanya kembali putih. Tak ada warna jingga dan semburat biru di sekelilingnya. Dia memandang ke belakang, Uncle Jo perlahan-lahan memudar, dan menghilang. Obiet menghampirinya. Ada senyuman lega di bibirnya.
"Kau berhasil," kata Obiet. Dia merangkul pundak Ozy. "Kau ingin melihat Negeri Barbush pada malam hari?" tanyanya. Ozy mengangguk. "Ayo! Tunggu apalagi."
Obiet membuka gerbang itu, padang rumput terhampar luas. Angin malam berhembus pelan. Langitnya berwarna biru tua, bintang berkelip-kelip, sangat menawan. Malam yang indah. Ozy memandang kagum sekelilingnya. Ingin sekali dia menunjukkan malam yang sempurna itu pada kedua sahabatnya. Ozy menghirup udara malam yang sejuk, sangat menyenangkan. Tugasnya sekarang sudah selesai.

@@@

Dua hari berlalu setelah peristiwa bulan yang membekukan bumi. Ozy kembali berkumpul dengan kedua sahabatnya. Pak Duta sudah tak mengajar lagi, dia sudah kembali ke Negeri Barbush. Memimpin kembali Kaumnya. Bibi Ema juga tak lagi tinggal di rumah Ozy, karena dia juga Kaum Barbus.
Sekarang sudah waktunya istirahat, mereka sedang berkumpul di bangku Acha. Ozy dan Acha tertawa, mereka membicarakan kelakuan Nyopon yang selalu aneh. Sementara Ray terlihat murung, dia sama sekali tak ada gairah. Sesekali Ray mendesah, bosan. Semenjak kepindahan Olivia ke Negeri Barbush dia selalu murung.
Ozy tak tega melihat keadaan Ray yang seperti itu. "Ray... Sudahlah... Jangan terus memikirkan Olivia, dia pasti bahagia di sana. Lagipula, kita bisa mengunjunginya kapan saja kita mau," kata Ozy seolah mengerti apa yang Ray pikirkan.
"Kau tak mengerti, aku sudah mencoba melupakannya. Tapi aku terlanjur mencintainya," kata Ray sok puitis. Dia mendesah lagi.
"Permisi... Aku murid baru di sini. Apa ada yang tahu di mana ruang kepala sekolah?" tanya suara lembut di belakang Ray.
Ray menoleh dan mendapati bidadari cantik berdiri di sana. Rambutnya tergerai sebahu, pipinya sedikit chubby, matanya menyipit ketika dia tersenyum. Ray mendadak kembali semangat, dia memamerkan senyum manisnya. "Oh... Hai... Kenalkan." Ray mengulurkan tangannya, gadis itu menyambutnya. "Namaku Muhammad Raynald Prasetya. Kau cukup memangilku Ray. Ini temanku, Ozy dan Acha." Ray menunjuk kedua sahabatnya secara bergantian.
"Hai!" kata Ozy dan Acha sambil tersenyum.
"Hai! Aku Keke..." kata Gadis itu sambil tersenyum ramah. "Jadi? Ada yang mau mengantarku ke ruang kepala sekolah?" tanyanya lagi.
"Biar aku saja!" kata Ray semangat. Dia berdiri dan menarik tangan Keke keluar kelas.
"Katanya terlanjur cinta?" sindir Ozy setengah berteriak.
Ray berbalik, dan kembali memasuki kelas. "Kalau ada cewek normal? Buat apa pilih yang tak mungkin?" kata Ray dan keluar kelas lagi.

Ozy dan Acha tersenyum geli mendengar perkataan Ray.

No comments:

Post a Comment

Gomawo~