Tawanan
Malam itu begitu dingin, Ray dan Acha duduk berimpitan dalam sebuah ruangan yang gelap. Memang, sekarang mereka sudah bisa melihat cahaya. Tapi ruangan itu begitu lembab dan gelap. Ray dan Acha tak tahu pasti bagaimana mereka bisa berada di sana. Tadi sore, ketika mereka terbangun, mereka sudah ada di sana. Tanpa Ozy. Sebenarnya mereka khawatir dengan keadaan Ozy, tapi mau bagaimana lagi, keadaan mereka juga cukup mengkhawatirkan saat ini.
Terdengar derap langkah memasuki ruangan. Ray dan Acha langsung merebahkan diri, pura-pura tidur. Orang itu memasuki ruangan. Bukan! Itu bukan orang! Postur tubuhnya seperti manusia, tapi tangannya runcing dan panjang. Matanya merah menyala, kulit wajahnya berkerut-kerut. Makhluk itu menyeringai memamerkan giginya yang tajam. Acha yang melihat dari sudut matanya, menahan napas. Berusaha supaya jeritan ketakutannya tidak keluar. Ray memejamkan matanya, tak ingin melihat makhluk itu.
Makhluk itu menghampiri mereka, menendang-nendang badan mereka, kasar. "Bangun! Tuan kami ingin bertemu kalian!"
Ray dan Acha tak bergeming, mereka tetap meringkuk ketakutan. "Bangun!" Makhluk itu menendang-nendang tubuh mereka lagi. "Kalau kalian tak bangun juga! Aku akan memakan kalian sekarang juga!" Ray dan Acha mendadak bangun mendengar ancaman makhluk itu. "Ikut aku!" Makhluk itu melangkah keluar, Ray dan Acha meng ikutinya. Terdengar oleh mereka makhluk itu menggerutu. "Dasar! Anak-anak susah diatur!"
Makhluk itu membawa mereka ke suatu ruangan yang cukup luas. Seseorang duduk di atas singgasana. Dia satu-satunya orang normal yang ada di sana. Selebihnya makhluk-makhluk menyeramkan seperti yang membawa mereka ke sana.
Orang yang duduk di singgasana itu berdiri, dia mendekati Ray dan Acha. "Mana kunci itu?" tanyanya.
Ray dan Acha saling berpandangan, tak mengerti. "Mana kunci itu?!"
Ray berusaha berbicara, melawan ketakutannya. "Ku-kunci ap-apa?"
Orang itu memandang Ray geram. "Geledah anak ini!" Orang itu menyuruh salah satu makhluk menyeramkan tadi menggeledah Ray.
Ray melangkah mundur ketika makhluk itu mendekat. Ray bergetar ketakutan. Sementara Acha menggigit ujung lidahnya supaya tak mengeluarkan jeritan. Makhluk yang ada di belakang Ray mendorongnya supaya maju. Ray pasrah saja diperlakukan seperti itu. Ia bahkan rela kalau sekarang ajal menjemputnya. Karena tak menemukan apapun pada tubuh Ray, makhluk itu mendekati Acha. Acha tak bergerak sedikitpun, dia memejamkan matanya. Menggigit lidahnya lebih keras lagi. Dia tak peduli, kalau lidahnya putus sekarang. Acha ingin menangis, tapi rasa takut yang melandanya terlalu besar. Bahkan, dia sampai lupa bagimana caranya menangis.
Marah karena tak menemukan yang di carinya. Pemimpin makhluk-makhluk itu kembali memenjarakan Ray dan Acha. Tapi bukan di ruangan tadi, melainkan di sel tahanan di halaman belakang. Mereka dikurung di sel itu. Seperti singa sirkus yang menderita.
Acha duduk di ujung sel. Dia memeluk lututnya. Angin malam berhembus pelan, menembus sum-sum tulang. Acha merapatkan tubuhnya, jaket yang dipakainya tak sanggup menahan dinginnya angin malam. Dia berharap Ozy ada di sana, menenangkan perasaannya. Dilihatnya Ray meringkuk di samping. Ray masih sangat shok dengan perlakuan makhluk menyeramkan tadi. Keadaan mereka sekarang, sangat sangat sangat parah. Entah kenapa, lapar yang Acha rasakan tadi pagi mendadak hilang. Tak tau apakah dia sudah kenyang dengan kejadian yang dialaminya? Atau dia mulai lupa bagaimana rasanya lapar?
Acha berusaha memejamkan matanya, mencoba tidur. Melupakan kejadian mengerikan yang dialaminya. Dia masih terus berharap, Ozy datang menyelamatkannya dan Ray.
@@@
Ozy kembali berjalan menelusuri Hutan. Obiet berjalan beberapa centi di depannya. Selama perjalanan itu tak ada di antara mereka yang saling bicara. Ozy tak berani bicara duluan, entah kenapa, aura yang Obiet pancarkan membuatnya merasa canggung.
Obiet memperlambat langkahnya, dia berbalik menghadap Ozy. "Kita sudah hampir sampai, kau harus lebih hati-hati. Tapi kau tenang saja, kunci emas itu akan melindungimu. Mereka tak akan bisa melihatmu, selama kau masih memegangnya," kata Obiet mengingatkan. Ozy mengangguk, dia memasukan tangannya pada saku jaket, memastikan kalau kunci emas itu masih ada di sana.
Kemudian Ozy melihat Obiet berubah bentuk. Telinga Obiet yang lancip bertambah lebar. Jari-jarinya yang lentik menjadi panjang dan kasar. Kedua matanya yang berwarna hijau menjadi merah menyala. Badannya yang seukuran Ozy, menjadi lebih tinggi dan besar. Kulit mulusnya, menjadi kasar dan berlipat-lipat. Wajah anggun Obiet menjadi menyeramkan. Ozy memekik tak bersuara melihat perubahan yang terjadi pada Obiet.
"Kau jangan takut denganku." Suara lembut Obiet menjadi kasar dan serak. "Aku harus jadi seperti mereka, supaya lebih mudah. Kau masih berada dipihakku?" tanya Obiet yang melihat Ozy masih terus terdiam. Ozy mengangguk, tapi tak seyakin sebelumnya. "Percayalah... Aku tak mungkin mengkhianatimu. Kau harus ingat! Apapun yang terjadi denganku, jangan kau pedulikan. Tugasmu adalah mencari kedua temanmu. Bawa mereka keluar dari sana. Kita bertemu lagi di rumahku. Kau masih ingat jalannya?" Ozy mengangguk, dia sama sekali tak berani bicara. "Bagus. Terima ini." Obiet memberikan Ozy sebuah kunci. "Kunci itu sudah aku beri mantra. Kau bisa membuka semua gembok dengan kunci itu." Ozy menerima kunci yang diberikan Obiet dan menelitinya. "Pergilah ke sana. Sekarang." Obiet menunjukkan jalan setapak di samping kirinya.
Ozy mengangguk, dia mulai berjalan. Tapi baru beberapa langkah, dia lupa menanyakan sesuatu. Bagaimana bentuk bangunan yang harus dicarinya? Ketika Ozy berbalik, ia tak menemukan Obiet di tempat tadi. Ozy terdiam sebentar, kemudian dia mengangkat bahu. Mungkin Obiet menghilang, dia kan bisa sihir, pikirnya. Ozy kembali berjalan menelusuri jalan setapak. Melihat jalan setapak, ia teringat kembali perjalanan awalnya dengan Ray dan Acha. Mengingat hal itu, membuatnya juga mengingat Uncle Jo. Ozy menggertak marah ketika nama itu muncul di kepalanya.
Ozy berhenti. Dia memandang bangunan tua yang ada di hadapannya. Semuanya terbuat dari tembok. Bangunan itu menjulang tinggi, tapi banyak tembok yang rusak di sana sini. Ozy melayangkan pikirannya pada cerita yang sering dibicarakan oleh Bibi Ema. Pendeskripsian tentang bangunan tua yang ada dalam ceritanya sangat mirip dengan yang ia lihat sekarang.
'Bangunan bertembok tanpa atap, berada di tengah hutan, bangunan itu sudah tua. Mungkin sudah berabad-abad lamanya. Penghuni bangunan itu sangat kejam! Mereka mengmbil para manusia yang memasuki Gunung Hurein. Kau harus berhati-hati. Selain karena penglihatan mereka yang tajam, mereka juga bisa melacakmu hanya dari desahan napasmu.' Bibi Ema sering menceritakannya pada Ozy. Suaranya yang dingin menusuk dan tatapan matanya yang tajam, membuat Ozy saat itu seolah-olah nyata melihatnya.
Tapi sekarang, dia benar-benar melihatnya dengan nyata. Bukan seolah-olah nyata. Ozy melangkah perlahan-lahan, dia sangat hati-hati, mengatur napasnya supaya tidak tegang. Ozy berjalan ke samping bangunan itu yang mengarah ke belakang bangunan. Baru beberapa langkah berjalan, dia mendengar ada yang langkah kaki lain. Ozy mencari-cari sumber suara, dia melangkah mundur.
"Aw!" Terdengar suara jeritan serak di belakangnya. Ozy menginjak kaki seseorang. Dia menoleh dan mendapati makhluk yang Obiet serupai tadi menggeram marah. Makhluk itu mencari-cari siapa yang menginjaknya. Dia mengendus, dan merasakan desahan napas memburu di dekatnya. Ia mengacungkan tongkat yang dipegannya tepat ke arah hidung Ozy. Makhluk itu memang tak melihat ada Ozy yang tersamarkan oleh kunci emas di sana. Tapi dia merasakan desahan napas manusia.
Ozy mundur ke belakang, tembok besar menghalanginya. Ozy terjebak, dia tak bisa berbuat apa-apa. Ujung tombak makhluk itu semakin mendekat, hampir mencongkel hidung Ozy dari tempatnya. Rasanya ingin sekali ia berteriak, tapi itu tak mungkin. Tak akan ada yang menolongnya di tempat itu. Napas Ozy semakin cepat, rasa takutnya semakin besar. Kemudian dia teringat perkataan Bibi Ema.
'Kau harus menahan napas ketika bertemu mereka. Mereka tak pernah suka melihat manusia bernapas, mereka tak segan-segan mencongkel hidungmu.'
Mengingat perkataan itu, Ozy menahan napas. Seperti berhadapan dengan vampir, namun makhluk itu lebih menyeramkan dari vampir. Ozy melihat makhluk itu mencari-cari kebingungan, setelah dia menahan napas. Ozy dapat lega sesaat, tapi dia tak bisa terus-terusan menahan napas. Ozy menggeser pelan kakinya ke arah samping. Menjauhi ujung tombak yang siap mencongkel hidungnya.
Setelah terbebas dari makhluk menyeramkan tadi, Ozy bisa bernapas lega. Dia mengambil udara sebanyak-banyaknya. Tak mungkin ia menyia-nyiakan kesempatan itu. Rasanya seperti terlahir kembali. Ozy meneruskan pencariannya, dia berjalan ke bagian belakang ruangan itu. Ozy juga tak tahu apa yang dicarinya. Obiet tak memberitahu di mana tempat kedua temannya disekap.
Halaman belakang ruangan itu mengeluarkan bau tak sedap. Baunya busuk, seperti bau berkilo-kilo ikan yang dibiarkan selama berminggu-ming gu tanpa bahan pengawet sedikitpun. Ozy sampai mengeluarkan air mata, tak tahan menghirup bau busuk itu. Ozy mencari sesuatu yang masuk akal di sana. Seperti sel, atau ruang tahanan mungkin? Tapi tak ada ruang tahanan di sana. Hanya beberapa patung butut yang dipajang di sekitar sudut bangunan. Ozy memandang remeh patung-patung itu. 'Dasar makhluk tak punya selera seni!' batinnya.
Kemudian matanya tertuju pada sederetan besi berjajar di balik semak-semak. Kalau keberuntungan sedang berpihak padanya, bisa saja dia menemukan Ray dan Acha di sana. Dengan penuh harap, Ozy menghampiri tempat itu. Dia menyingkirkan daun-daun yang menutupi sederetan besi.
Sebuah kotak besi besar berdiri menjulang di sana. Sangat mirip penjara. Dua orang anak seumurannya meringkuk kedinginan di dalam. Ozy cemas sekaligus senang menemukan kedua sahabatnya di sana. Dia segera mengeluarkan kunci yang diberikan Obiet padanya tadi, lalu segera membuka gembok yang menggantung di pintu sel tersebut. Ozy masuk sel itu setelah pintunya terbuka. Dia menghampiri Ray dan Acha yang tertidur menyedihkan.
Ozy membangunkan Ray terlebih dahulu. Dia tahu, meskipun kelakuan Ray selalu aneh, Ray selalu kuat menghadapi apapun. Ray terbangun, dia mengerjap-ngerjapkan matanya. Menormalkan penglihatannya yang agak kabur. Ray menatap Ozy tak percaya. Dia mengucek-ngucek matanya memastikan. "Ozy?" katanya ragu.
Ozy tersenyum dan memandang Ray. "Ya. Ini aku. Jangan berisik. Banyak yang berjaga di luar. Kau masih kuat kan?" bisik Ozy. Ray mengangguk. "Sekarang bantu aku membawa Acha keluar dari sini."
Tanpa banyak tanya lagi, Ray langsung membantu Ozy membawa Acha keluar. Sepertinya dia pingsan. Tubuhnya sangat dingin dan lemah. Ozy melihat sekilas pada bibir Acha, ada darah segar keluar dari celah bibir itu. Ozy yakin kalau Acha mengigit lidahnya. Ozy tahu kebiasaan Acha, jika dia ketakutan pasti dia mengigit lidahnya. Kalau sampai berdarah seperti itu, pasti dia sangat ketakutan. Ozy tak mengerti dengan jalan pikiran Acha, kenapa dia malah melukai lidahnya sendiri kalau ketakutan.
Baru beberapa langkah mereka berjalan keluar dari sel itu, terdengar suara derap langkah beberapa orang di kejauhan. Ozy segera mengajak Ray menjauh dari sana. Mereka memasuki hutan dekat situ. Ray merasakan pandangannya mengabur, kepalanya berdenyut memusingkan, bibirnya mulai memucat. Ray meyakinkan dirinya, kalau dia masih kuat. Sangat kuat. Tapi tubuhnya tak menolak. Tangannya mulai lemas, badan Acha menjadi berkilo-kilo lebih berat dari biasanya. Ray tak tahan lagi, kepalanya berdenyut hebat. Ray terjatuh, membuat Ozy kehilanhan keseimbangan menyangga badan Acha.
"Ray apa yang..." Kata-kata Ozy terpotong begitu melihat Ray sudah bergeletak tak berdaya di tanah. Ozy menyenderkan Acha pada pohon terdekat, dia buru-buru menghampiri Ray. Menggotong badannya dan mendudukannya di samping Acha. Ozy bingung, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ozy menepuk-nepuk pipi Ray.
Terlihat Ray mulai bergerak. "Ray! Kau baik-baik saja?"
Ray membuka matanya dan memandang Ozy. Tatapan matanya begitu menyedihkan. Langkah-langkah kaki itu mulai mendekat, membuat Ozy panik. Tapi tak mungkin dia meninggalkan Ray dan Acha, sementara dirinya melarikan diri. Ozy melihat Ray tersenyum, begitu memilukan. Di saat-saat seperti ini, sahabatnya itu sempat tersenyum.
"Kau masih sanggup berjalan? Mereka sudah semakin dekat." Ozy berkata lirih pada Ray.
"Kau jangan khawatirkan aku. Pergilah! Sebelum mereka menangkapmu," kata Ray lirih.
"Tapi..."
"Akan lebih sulit jika kita semua tertangkap. Pergilah! Bawalah Acha bersamamu! Kau bisa kembali dan menyelamatkanku."
Ozy ragu, tapi begitu melihat senyuman yang mengembang di wajah Ray, Ozy mengangguk. "Baiklah. Aku akan segera kembali."
Ozy membawa Acha menjauh dari tempat itu. Terlihat beberapa makhluk aneh itu mendekat dan menyeret Ray dengan kasar. Ozy sedih melihatnya. Tapi toh dia pergi juga, dia berjanji akan secepatnya menyelamatkan Ray.
No comments:
Post a Comment