Penyelamatan
Ozy membawa Acha melewati hutan, dia sendiri tak tahu, harus ke mana sekarang dia pergi. Ozy berhenti dan menidurkan Acha di atas rumput. Dia melihat wajah Acha semakin pucat, tapi dia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ozy tak tahu apa-apa tentang perobatan.
Setelah sekian lama Ozy mondar-mandir memikirkan cara menyembuhkan Acha, Ozy teringat pada Oik. Sebaiknya dia membawa Acha pada Oik, siapa tahu dia bisa mengobati Acha.
Malam itu masih larut, Oik masih sibuk dengan mimpinya. Dia mendengar ada yang mengetuk pintu. Dengan rasa kantuk yang masih menyerang, Oik bangun dan membuka pintu. Rasa kantuknya mendadak hilang begitu melihat Ozy berdiri di sana dengan seorang wanita pingsan di pangkuannya. Melihat pintu rumah terbuka, Ozy langsung masuk. Dia menidurkan Acha pada salah satu kursi yang ada di ruang tamu. Oik memandang Acha dengan perasaan cemas.
"Dia kenapa? Wajahnya begitu pucat. Mulutnya juga berdarah," kata Oik cemas.
"Nanti aku ceritakan apa yang terjadi. Sekarang lakukan sesuatu, aku tak mau dia meninggal." Ozy memandang Oik penuh harap.
Oik mengangguk, dia segera berlari kecil keluar. Dia kembali dengan membawa beberapa helai daun. Oik langsung berlari ke dapur dan kembali dengan segelas air di tangannya. Ozy memandang segelas air yang dibawa Oik dengan dahi berkerut.
"Kau akan meminumkan cairan itu padanya? Apa... kau... yakin itu tak berbahaya?" kata Ozy setelah melihat warna air itu. Warnanya hijau tua, seperti lendir, sangat menjijikan.
"Ini ramuan obat. Dia bisa kembali sehat setelah meminumnya," kata Oik meyakinkan. Ozy masih memandang Oik tak yakin. "Oh... Ayolah... Percayalah padaku. Kau bisa lihat hasilnya nanti."
Oik berjongkok di hadapan Acha. Dia menyentuh kening Acha dan menggumamkan sesuatu. Cahaya putih keluar dari tangannya. Ozy melihat Acha mengerjap-ngerjapkan matanya. Ozy bernapas lega melihat Acha mulai sadar.
"Kau tak apa-apa? Apa kau bisa mendengarku?" tanya Oik.
Acha membuka matanya, dia melihat Ozy menatapnya cemas. "Kau baik-baik saja?" tanya Ozy.
Acha mengangguk, ia mencoba bangun. Tapi pusing di kepalanya menyerang. Oik segera menyangga kepala Acha dan menidurkannya kembali. Oik mengambil minuman yang menurut Ozy seperti lendir, ia memberikannya pada Acha.
"Minumlah dulu, supaya kau cepat sembuh," kata Oik.
Acha memandang Oik, dia tak pernah bertemu wanita ini sebelumnya. Kemudian pandangannya beralih pada minuman yang dipegang Oik. Acha ragu, apakah ia harus meminum minuman itu. Tapi warnanya sangat menjijikan. "Siapa kau? Dan... Minuman apa itu?" tanyanya.
Oik tersenyum. "Aku Oik. Temannya Ozy, dan ini ramuan buatanku. Minumlah... dan kau akan merasa lebih baik. Percayalah!" kata Oik, yang seolah mengerti keraguan Acha.
Acha masih terdiam, kemudian dia memandang Ozy yang ada di belakang Oik. Terlihat Ozy menganggukkan kepalanya. Acha menurut. Oik membantunya bangun. Acha mengambil minuman itu dan meminumnya. Ozy hampir muntah ketika melihat Acha mulai meneguk minuman menjijikan itu.
Acha bernapas lega setelah menghabiskan minuman itu. Ozy mendekat dan memandang Acha cemas. "Apa kau merasa lebih baik?" tanyanya.
Acha menggerakkan badannya, terasa ringan. Kepalanya tak pusing lagi. Dia tersenyum pada Oik dan Ozy. "Thanks. Aku merasa lebih baik. Semuanya berkat kalian."
Oik tersenyum, dan Ozy bernapas lega. "Bagaimana rasa minuman itu? Apakah seperti lendir?" tanya Ozy.
Acha tertawa kecil. "Ya... Bisa dibilang seperti itu."
"Wuek... Pasti menjijikan." Ozy pura-pura muntah. Acha dan Oik tertawa melihat kelakuan Ozy.
'Kryukk...' Suara perut lapar Acha menghentikan tawa mereka. Acha memandang Oik dan Ozy malu-malu.
"Kau pasti lapar, aku masih punya makanan di dapur. Tunggu... Biar kuambil," kata Oik sambil tersenyum. Dia berjalan ke dapur dan mengambil beberapa makanan. Acha yang sedang sangat kelaparan, memakannya dengan lahap.
"Jadi? Bagaimana kejadiannya?" tanya Oik setelah Acha selesai makan.
Ozy menceritakan proses penyelamatan kedua temannya pada Oik. Acha juga ikut mendengarkan, dia sama sekali tak tahu kejadian sebenarnya. Karena dari tadi, Acha pingsan.
"Jadi? Temanmu yang satu lagi masih di sana? Kak Obiet juga ada di sana?" tanya Oik.
"Ya... Mereka masih di sana. Aku akan pergi membebaskan Ray sekarang. Kau istirahatlah dulu," kata Ozy memandang Acha.
"Tidak!" protes Acha. "Aku ikut!" Acha berusaha berdiri, tapi kakinya masih lemah.
"Percayalah padaku. Aku akan baik-baik saja, dan membawa Ray ke sini dengan selamat." Ozy memandang Acha, tepat di matanya.
Acha terdiam, dia langsung memalingkan wajahnya dari tatapan mata Ozy. Ingin sekali dia ikut bersama Ozy. Tapi keaadaannya yang lemah, membuat dia tak bisa berbuat apa-apa. Pelan-pelan Acha menganggukkan kepalanya. Dia tak berani balas memandang Ozy.
"Jaga dirimu baik-baik," kata Ozy masih memandang Acha yang terus menunduk. "Oik... Jaga dia, jangan biarkan dia pergi sendirian." Ozy mengalihkan pandangannya pada Oik. Oik mengangguk.
Ozy menepuk pelan pundak Acha, sebelum ia pergi. Acha mendongak dan memandang punggung Ozy yang berjalan keluar rumah, menuju gelapnya malam. 'Semoga dia baik-baik saja,' batin Acha.
"Ehm..." Suara Oik membuyarkan lamunan Acha. "Sepertinya dia sangat perhatian padamu," kata Oik sambil tersenyum menggoda. Acha tersenyum malu-malu, ada semburat merah yang tiba-tiba muncul di pipinya. Acha menunduk, dia tak tahu apa yang harus dikatakannya untuk membalas perkataan Oik.
"Lebih baik kau tidur dulu. Mukamu tambah merah," kata Oik yang membuat wajah Acha bertambah merah. "Ayo... Kutunjukan kamarnya."
Oik membantu Acha berdiri, dan mebawanya menuju kamarnya. "Kau tidur denganku. Aku tak mau disalahkan Ozy jika dia mendapatimu berjalan sendirian di luar."
@@@
Ray diseret kasar oleh beberapa makhluk menyeramkan itu. Mereka memasukan Ray pada sel lain yang lebih gelap dan dingin. Mereka mendorong Ray yang sudah sangat lemah itu dengan kasar. Ray tersungkur pada lantai sel yang kasar. Mereka pergi, meninggalkan Ray dalam diam dan dingin. Ray bangun, dia menyandarkan badannya pada tembok ruangan itu. Keadaannya sangat parah. Dia kelaparan, dan juga sangat lelah. Ia rindu pada Agni, kakak perempuannya. Rindu masakannya, omelannya, dan rindu tertawa bersamanya. Ray menghela napas. Akankah hidupnya berakhir di sana? Apa Ozy akan kembali dan menyelamatkannya?
Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya. Ray memandang pintu masuk, mengira-ngira siapa yang akan datang. Ray mendesah kecewa, ketika dilihatnya salah satu makhluk tadi memasuki ruangan. Ray pasrah, jika kali ini makhluk itu akan memakannya. Makhluk itu mendekat, menyentuh wajah Ray yang semakin pucat.
"Apa kau temannya Ozy?" Makhluk itu bertanya dengan suaranya yang besar. Ray memandang kaget makhluk itu. Dia kenal Ozy? Apa Ozy juga sudah tertangkap? Ray terdiam, dia sama sekali tak menjawab pertanyaannya.
"Apa kau temannya Ozy?" Makhluk itu bertanya lagi. Ray terpaksa mengangguk.
Makhluk itu menyeringai, memamerkan deretan giginya yang tajam. Cahaya putih tiba-tiba menerangi ruangan itu. Ray menutup matanya, menghindari pantulan cahaya yang menyilaukan mata. Ketika dia membuka mata kembali, makhluk itu sudah lenyap. Sebagai gantinya, sosok anggun dengan telinga lancip berdiri di hadapannya. Sosok itu tersenyum memandang Ray.
"Kau terlihat menderita. Lebih baik kita segera keluar. Ozy sudah menunggu kita di ujung hutan," katanya dan mendekati Ray.
"K-kau siapa?" tanya Ray terbata.
"Aku Obiet. Aku temannya Ozy, kau bisa percaya padaku. Aku sudah menghancurkan beberapa mantara penghalang yang melindungi tempat ini. Sekarang pegang tanganku, dan jangan banyak bergerak." Obiet memegang tangan Ray yang sangat lemas. "Kau sudah siap?" Ray mengangguk pelan. "Lebih baik kau menutup matamu." Ray menurut, dia menutup matanya. Tekanan ketika masuk Gunung Hurein, sekarang ia rasakan lagi.
"Kau bisa membuka matamu," kata Obiet. Ray membuka matanya, dia melihat sekeliling. Mereka sudah keluar dari ruangan itu. Ray melihat Ozy berdiri di hadapannya.
"K-kali-an? Ba-bagaimana bisa..." kata Ozy terbengong-bengong melihat Obiet dan Ray yang tiba-tiba ada di hadapannya.
Obiet tersenyum, dan memandang Ozy. "Sudahlah... Kau tak perlu bertanya bagaimana caranya. Sekarang bantu aku membawa Ray ke rumah." Ozy berdiri di samping Ray, menyampaikan tangan kanan Ray pada pundaknya, dan memapah Ray.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, terdengar suara ledakan dari arah markas para makhluk menyeramkan tadi. Ozy menghentikan langkahnya. Dia memandang Obiet penuh tanya. "Aku tadi memasang alat peledak di sana. Mungkin sekarang mereka sudah hancur berkeping-keping," kata Obiet santai. "Ayo pergi, kita harus segera mengobati temanmu." Ozy menurut, mereka kembali berjalan menuju rumah Obiet.
----------------------------
"Apa kita perlu memanggil Oik?" tanya Ozy setelah sampai di rumah. Dia mendudukkan Ray pada kursi ruang tamu.
"Tidak perlu. Biarkan dia istirahat. Aku bisa membuat ramuannya. Kau beri dia minum," kata Obiet. Ia berjalan keluar. Perut Ozy kembali mual ketika memikirkan minuman hijau berlendir tadi. Dia bergidik kecil, kemudian pergi ke dapur mengambil minuman untuk Ray.
"Minumlah dulu. Nikmatilah minuman ini. Sebentar lagi Obiet akan memberimu minuman menjijikan," kata Ozy dan memberikan minuman yang dibawanya pada Ray.
Ray menerima minuman itu dan memandang Ozy bingung. Dia akan menanyakan sesuatu, tapi kedatangan Obiet menghentikan niatnya.
"Ini!" Obiet menyerahkan minuman yang dibawanya pada Ray. "Minumlah... Jangan dengarkan perkataan Ozy. Rasa minuman ini tak seperti warnanya."
Ray menatap minuman hijau berlendir itu. Kemudian menatap Ozy yang memandang minuman itu seperti memandang kotoran. Ray mengalihkan pandangannya pada Obiet yang tersenyum meyakinkan. Ray menelan ludah yang terasa pahit di tenggorokan. Kemudian dia meneguk minuman hijau itu. Air hijau itu turun dengan lancar melalui tenggorokannya, Ray tak merasakan apa-apa.
"Bagaimana?" tanya Ozy ingin tahu.
"Rasanya... badanku kembali segar," jawab Ray. Dia menggerak-gerakkan badannya.
"Bukan! Bukan badanmu, tapi bagaimana rasa air itu?" tanya Ozy lagi.
"Tak ada rasanya, airnya hambar. Dan begitu saja melewati tenggorokanku," jawab Ray.
"Sudah kubilangkan? Jangan dengarkan perkataannya." Obiet melirik Ozy dengan ujung matanya. Ozy mendengus kesal. "Lebih baik kalian istirahat dulu. Besok aku harus membawa kalian pulang."
Setelah mengatakan itu, Obiet meninggal kan mereka. Dia berjalan menuju kamarnya. Ozy dan Ray pun memutuskan untuk istirahat.
@@@
Pagi itu begitu cerah. Cahaya matahari bersinar menerobos celah-celah dedaunan. Acha bangun, dia menggerakkan badannya. Terasa ringan, rasanya seperti terlahir kembali. Ia menoleh ke samping, Oik sudah tak ada di sana. Acha berjalan keluar, dia bertanya-tanya, apakah Ozy sudah pulang? Apakah Ray selamat? Acha mencium bau makanan, sangat enak. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun dia tak mencium bau makanan.
Acha mengikuti bau masakan itu. Oik tersenyum kepadanya ketika melihat Acha memasuki dapur. Acha balas tersenyum canggung. Oik mendekatinya sambil menaruh piring berisi makanan di atas meja.
"Hai! Bagaimana perasaanmu? Apa kau merasa lebih baik?" tanya Oik.
"Ya... Aku merasa lebih baik. Apa Ozy dan Ray sudah kembali?"
"Sepertinya sudah. Tadi aku melihat semua kamar sudah terisi. Kau bisa membangunkan mereka untuk sarapan." Oik kembali menghampiri masakannya. "Sebentar lagi, makanannya matang."
"Ya... A-ku bi-sa ba-bangunkan mereka sekarang," kata Acha canggung. Kemudian ia melangkah keluar.
Acha memasuki pintu kamar paling ujung. Dua orang sahabatnya tertidur pulas. Acha tersenyum melihat kedua sahabatnya itu. Dia melangkah pelan, seolah tak mau mebuat mereka bangun. Dibukanya jendela kamar, sehingga sinar matahari memasuki ruangan itu. Acha duduk di bagian pinggir kasur yang kosong. Dia melihat sahabatnya yang tidur di sampingnya. Ozy. Seseorang yang selalu ia khawatirkan. Acha selalu takut jika terjadi sesuatu pada Ozy. Acha memandang wajah Ozy lekat-lekat, ada semburat merah yang tiba-tiba muncul di pipinya. Acha mendekatkan tangannya pada wajah Ozy yang tampak kelelahan. Ketika tangannya hendak mengenai wajah yang tertidur itu, Ozy membuka matanya.
Acha refleks menarik kembali tangannya, dia segera bangun. Wajah Acha kembali memerah. Dia sangat kikuk, malu jika yang dilakukannya barusan disadari Ozy.
Ozy membuka matanya, sinar matahari yang terang menyilaukan matanya. Dia mendapati Acha tengah berdiri di samping tempat tidur, memandangnya. Ozy tersenyum pada Acha. Senang rasanya bisa melihat Acha yang sudah kembali sehat.
"A-aku di-disu-ruh O-ik membangun-kan-mu," kata Acha gugup, wajahnya bertambah merah.
"Pagi! Senang melihatmu kembali sehat," kata Ozy disertai senyum manisnya.
"Ka-ta Oik makanannya se-ben-tar la-lagi ma-tang." Acha bertambah gugup.
Ozy memandang Acha cemas. "Kau tak apa-apa?"
"A-aku tak apa-apa... A-aku tung-gu di-diruang makan." Setelah mengucapkan itu Acha meninggalkan Ozy dalam kebingungan.
Ozy kembali sadar, dia membangunkan Ray dan mengajaknya makan. Awalnya Ray bangun dengan ogah-ogahan, tapi begitu kata makanan disebut Ray langsung berjalan menuju ruang makan dengan penuh semangat, meninggalkan Ozy yang makin bingung dengan tingkah kedua sahabatnya.
Semua sudah berkumpul di ruang makan. Begitu melihat Ozy masuk, Acha langsung menundukkan kepala. Pura-pura sibuk dengan makanan yang ada dihadapannya. Oik tersenyum geli melihat tingkah Acha. Ozy duduk di kursi yang masih kosong. Kebetulan kursi yang tersisa tepat disamping Acha. Wajah Acha kembali memerah begitu Ozy duduk di sampingnya.
"Setelah makan, kau antarkan Ray dan Acha pulang," kata Obiet pada Oik. "Aku masih ada beberapa urusan yang perlu diselesaikan dengan Ozy." Oik hanya menganggukan kepalanya.
"Apa aku bisa ikut?" tanya Acha.
"Tidak! Ini hanya urusanku dengan Ozy," jawab Obiet tegas.
Acha tak bisa membalas perkataan Obiet.
"Kau tenang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri," kata Ozy. Acha memandangnya, tatapannya tak bisa diartikan. Ada rasa takut kehilangan di matanya. "Sampaikan salamku pada orangtuaku. Juga pada Kak Rio. Katakan pada mereka. Aku baik-baik saja, dan akan segera kembali. Percayalah." Ozy menatap mata Acha dan memegang tangan kiri Acha yang ada di sampingnya.
Acha terdiam, ada rasa hangat yang menjalar ketika Ozy memegang tangannya. Rasanya dia tak mau melepaskan tangan Ozy untuk selamanya. Kemudian Acha mengangguk kecil. Ozy tersenyum melihat anggukkan kecil itu.
No comments:
Post a Comment