Saturday, 27 August 2011

Cerpen : Hope of Love

Berharap. Tak ada yang salah dengan kata itu. Hanya sebuah kata yang tersusun dari delapan huruf. Tapi mengapa terdengar begitu lemah? Tak salah bukan jika kita berharap? Meskipun harapan itu tak mungkin terwujud.

***

Aku memasuki kelas dengan baterai energi yang hampir habis. Bagaimana tidak, aku menghabiskan hampir sepanjang malam hanya untuk membuat  fanfict idola cilik. Mungkin terdengar kekanakan, tapi aku suka anak-anak idola cilik itu. Mereka begitu lucu, pandai bernyanyi, pintar, dan keren. Aku suka menjodoh-jodohkan mereka dalam imajinasiku.

"Pagi Va." Aku mendengar suara berat menyapa telinga begitu aku duduk di bangku.

"Oh... Pagi." Aku menjawab agak gugup karena tak biasanya ada laki-laki yang menyapaku, biasanya mereka hanya menganggapku angin lalu di kelas ini.

Aku mendongak memandang seseorang yang sedang asyik mengotak-atik komputer kelas di meja guru. Ternyata Irsyad. Pantas saja dia menyapa, menurutku dia murid laki-laki paling cerewet di kelas ini. Aku menghela napas, lalu membaringkan kepala pada bangku di hadapanku. Mungkin aku menghela napas terlalu keras, karena beberapa detik setelah aku membaringkan kepala, suara Irsyad kembali terdengar.

"Kenapa Va? Lagi ada masalah? Kok kayanya cape gitu?"

"Eh..."

Aku terkejut, lantas mengubah posisi kepala dan menopangnya dengan dagu supaya bisa melihatnya. Ia tak mengalihkan pandangannya sedikitpun. Matanya tetap fokus pada layar komputer, dengan tangan yang menari lincah di atas keyboard. Aku menghela napas kembali sebelum menjawab pertanyaannya, tapi kali ini lebih pelan.

"Nggak. Aku hanya sedikit ngantuk, semalam kurang tidur."

Dia tertawa kecil. "Oh... Aku kira ada masalah serius." Hening beberapa saat. "Ya udah. Tidur aja dulu, mumpung..." Dia mendongak ke atas melihat jam dinding yang tergantung pada dinding di belakangnya. "Masih setengah jam lagi ke bel," sambungnya.

Aku hanya tersenyum kecil. Hening kembali menyelimuti kami.

"Lagi ngerjain apa?" tanyaku sok basa-basi.

"Ini... lagi bikin proposal Potret, buat pameran hasil jepretan anak-anak Potret," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari layar komputer.

"Oh..." jawabku agak lirih.

Aku menenggelamkan kembali wajahku dalam kedua tangan yang kutelungkupkan di atas meja. Kupandangi sosok lelaki itu dari celah kedua lengan. Tampan. Wajah oriental, dengan kulit hitam manis, rambut yang sedikit lagi akan terkena razia karena terlalu panjang untuk ukuran murid laki-laki di sekolahku, dan sedikit kumis tipis yang menyembul dari kulit di atas bibirnya membuat dia tampak dewasa. Irsyad. Tapi aku tak tertarik padanya. Dia memang tampan, pintar, supel, dan segala kelebihan lain. Tapi itu tak cukup membuat otakku untuk berhenti memikirkan sosok lain yang mungkin tak ada apa-apanya dibanding Irsyad. Sosok lain yang menjadi bayang-bayangku selama sekolah di sini. Sosok lain yang membuat dunia imajinasiku menjadi gila. Sosok lain yang selalu membuatku berharap suatu saat nanti dia akan mengungkapkan rasa cintanya padaku. Aku menghela napas pelan, menenggelamkan seluruh permukaan wajah dalam lengan. Aku tau, aku memang menyedihkan.

"Woi!"

Seseorang memukul pelan punggungku. Membuat semua yang aku pikirkan tadi buyar. Kudongakkan kepala, memandang Oik temanku yang baru saja duduk pada bangku di depanku.

"Hai." Aku memberi senyum kecil padanya.

"Pagi-pagi udah tidur. Ga dapet rejeki ntar," katanya sambil terkekeh. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.

"Eh... Kantin yuk? Belum makan nih." Suara Oik kembali terdengar. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku dan berbisik pelan. "Soalnya di rumah ada Si Om tadi," katanya sambil terkekeh kecil.

Aku ikut terkekeh. "Iya. Yuk," jawabku sambil tersenyum.

Sepanjang perjalanan ke kantin Oik terus saja membicarakan tunangannya yang lebih tua hampir dua kali lipat umurnya itu. Aku tak tau pasti apakah Oik dipaksa bertunangan atau kemauannya sendiri.

"Aku tuh kurang suka sama Si Om. Dia tuh terlalu over protec. Dikit-dikit telepon. Dikit-dikit sms. Gimana kalo ntar udah nikah?" Oik terus berbicara. Aku tak mengerti, kalau ia tak menyukainya ya tinggal bilang sama orang tuanya. Entahlah, mungkin dia punya alasan lain.

"Ya mungkin dia cinta banget sama kamu. Jadi cemburu kalo kamu deket atau terlalu peduli sama cowok lain," kataku sok bijak. "Aku ga ngerti sih soal kaya gituan. Pacaran aja ga pernah," tambahku sambil terkekeh kecil.

"Iya. Tau deh yang taat agama ga boleh pacaran." katanya melirik jail ke arahku, yang sukses membuatku mendengus sebal.

Kami menghentikan obrolan sebelum memasuki kantin sekolah. Napasku sedikit tercekat ketika kulihat dia dengan temannya sedang duduk di bangku kantin. Aku tak tau ini kebetulan atau takdir, karena hampir setiap kali aku ke kantin dia selalu ada di sana dengan temannya itu. Aku selalu berharap jika kebetulan ini adalah takdir kalau kami sebenarnya jodoh. Hahaha. Lucu sekali pikiranku.

Aku mengambil beberapa permen dari dalam toples. "Nunggu di sana ya," kataku sedikit berbisik pada Oik setelah membayar. Aku duduk pada salah satu kursi yang dekat dengan pintu keluar. Berusaha duduk sejauh mungkin darinya.

Aku mendadak kenyang, jadi hanya membeli beberapa permen. Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku ini. Apa efeknya berpengaruh sangat besar padaku. Hanya melihatnya saja membuatku lupa kalau aku lapar. Di belakangku ada dia dan temannya itu. Andai saja dia sedang diam-diam memandangiku saat ini, bertanya-tanya dalam hati apakah aku juga mencintainya. Aku menghela napas pelan. Ahh... Aku benar-benar bodoh. Mana mungkin dia berpikir seperti itu.

"Ayo." Oik menepuk pundakku.

"Oh... ayo," kataku sambil berdiri, berjalan mengikutinya dan meninggalkan kantin.

"Eh Sion pernah sekelas sama kamu kan ya waktu kelas sepuluh?" tanya Oik ketika kami sedang berjalan menuju kelas.

"Hah? Sion?" aku bertanya lagi sekedar memastikan apakah telingaku tidak salah dengar.

"Iya Sion. Yang tadi di kantin, yang duduk di bangku pojok itu lho," kata Oik, memandang ke arahku. "Dia pernah sekelas denganmu kan?"

"Ah... iya," kataku agak gugup. Ya ampun mendengar namanya disebut saja membuatku begini, bagaimana jika aku berbicara dengannya. Eh... tapi untuk apa Oik menanyakannya. "Kenapa?"

"Kenapa apanya?" Oik mengernyit heran ke arahku.

"Kenapa kamu menanyakannya?"

"Oh... ngga, cuma nanya doang. Aku satu SMP sama dia. Ya tapi ga deket, cuma sekedar tau nama sama wajah doang," katanya tersenyum kecil.

"Oh..." Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala.

Aku melirik kecil sahabatku itu. Dia memang lebih pendek dariku. Tapi dia cantik, supel, dan pintar. Bisa aja Sion dengan mudah naksir sahabatku ini, apalagi mereka dulu satu sekolah. Yah... meskipun kata Oik mereke tidak kenal dekat, tapi pasti mereka saling tau kan? Dan bisa saja... ah sudahlah. Lagipula aku sekolah di sini untuk mencari ilmu, bukan malah memikirkan hal-hal seperti ini. Tapi membuang bayang-bayang wajahnya dari pikiranku juga susah. Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan?

"Haah..." Tanpa sadar mungkin aku menghela napas terlalu keras, karena detik berikutnya aku mendengar Oik bertanya padaku.

"Kenapa Va?" Oik memandang cemas ke arahku.

"Hah?" Aku sedikit tergagap. "Oh... ga pa-pa," jawabku sambil tersenyum kecil.

***

Cinta. Aku masih bingung definisi asli dari kata tersebut. Apakah yang kurasakan sekarang ini bisa disebut cinta? Atau hanya suka? Atau kagum? Entahlah. Apapun yang kurasakan saat ini, mau cinta, suka, atau kagum, yang jelas perasaan ini benar-benar membuatku merasa terganggu.

***

Aku hanya diam menyimak pembicaraan mereka, tidak memberi komentar atau memberi pertanyaan. Yang bisa kulakukan saat ini hanya mengangguk dan tersenyum ketika memberi tanggapan pada obrolan mereka. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik untuk teman-temanku yang sedang dilanda virus merah jambu saat ini.

"Aku tuh suka sama senyumnya." Gita mulai bernarasi dengan ekspresi lebay yang ia buat-buat. "Hanya melihat senyumnya saja bisa membuatku melupakan segala masalah yang ada. Ah... Aku juga suka lesung pipinya. He is so cute," sambungnya sambil menelungkupkan kedua tangan di depan dada.

"Lebay lo," komentar Shilla datar.

"Ye... Sirik aja lo," balas Gita sambil melet-melet.

Aku menundukkan kepala dan menopang kedua pipiku dengan tangan yang kutumpukan pada lutut. Mereka bisa begitu mudah mengungkapkan perasaan mereka. Aku iri, aku juga mau memberitahu mereka bagaimana perasaanku pada Sion. Tapi aku malu sekaligus takut. Bagaimana jika mereka tak sengaja membeberkan curhatanku pada orang lain? Lalu curhatanku sampai di telinga Sion. Aku tak tahu harus bersembunyi di mana jika itu terjadi, dan dia ternyata sudah punya pacar. Oh… Bisa mati malu aku.

Merasa ada yang memandangi, aku mengangkat kepala. "Ada apa?" tanyaku heran pada mereka yang ternyata memang sedang memandangku.

"Tinggal kamu doang yang belum cerita siapa yang kamu suka." Gita mengatakan arti tatapannya, yang kubalas dengan cengiran konyol. "Oh ayolah... kami udah nyeritain gebetan-gebetan kami. Kamu tau kan? Aku suka Debo. Oik sama Si Om. Ify sama Septian. Tinggal kamu, sama... Shilla." Gita melirik Shilla dengan ujung matanya.

"Gue bakalan cerita kalo Irva cerita," kata Shilla, melipat kedua tangan di depan dada.

"Kenapa aku?" tanyaku heran. "Ga ada yang aku suka kok." Aku pura-pura cuek, padahal aku sangat ingin berteriak, "Sion aku mencintaimu."

"Ah..." kata Ify, mengacungkan telunjuknya tepat ke arah mukaku. "Bukannya kamu suka sama yang sekelas sama kamu pas kelas sepuluh itu ya? Siapa namanya Shil?" lanjutnya sambil melirik Shilla.

"Sion," jawab Shilla cuek.

Kenapa setiap kali aku mendengar namanya jadi panas dingin begini?

"Eh... Kata siapa aku suka sama dia? Itu... itu gosip. Kerjaan anak-anak doang," elakku gugup. Mereka terkekeh pelan. Huh! Kenapa mereka suka sekali menggodaku?

"Iya aku tau. Kan Irva punya Riko yang item manis. Oh... Irvaku. Hahaha." Nova malah mengejek dengan meniru ucapan Riko.

Aku mendengus kesal. "Itu cuma bercanda. Lagian dia kan udah punya cewek."

"Ah... Cieee." Mereka malah semakin menggodaku.

"Siang anak-anak." Suara Pak Duta guru TIK─kami sedang berada di Lab Komputer saat ini─seolah menyelamatkanku dari godaan mereka.

"Siang Pak." Kami menjawab serempak.

"Buku tugasnya dikumpulkan ke sini sekarang ya." Pak Duta kembali berujar.

"Ya ampun. Buku tugasku di kelas, aku lupa bawa," kataku sedikit berbisik.

"Izin aja dulu," saran Oik yang duduk di sebelahku.

Aku mengangguk, lantas mengangkat tangan. "Pak." Pak Duta menoleh ke arahku. "Mau izin ngambil buku dulu, ketinggalan di kelas," lanjutku. Terlihat Pak Duta menganggukkan kepala.

Aku sedikit berlari menuju kelas, yang aku tahu Pak Duta itu tidak suka telat. Aku langsung mengambil buku tugas TIK yang tergeletak di atas bangku begitu sampai di kelas, tadi sudah aku keluarkan tapi lupa membawanya. Sedikit tergesa berjalan keluar kelas, aku hampir menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

"Pada ga ada ya?"

Deg! Suara itu. Aku sangat mengenalnya, karena diam-diam suara itu terekam dalam memori otakku. Itu suara Sion. Aku menghela napas pelan, berusaha menstabilkan detak jantungku yang terlalu cepat. Aku tidak boleh gugup, batinku menenangkan diri. Perlahan kuangkat kepala memandang ke arahnya.

"Pada ga ada ya?" Dia mengulang pertanyaannya.

"Hah? Oh... Lagi di lab komputer, pelajaran TIK." Aku tak tahu apakah suaraku bergetar atau tidak, tapi yang jelas tanganku sudah sangat dingin saat ini.

"Oh...," ujarnya nyengir sambil menggaruk belakang kepala.

Aku tersenyum kecil. "Duluan ya," ucapku dan berjalan agak cepat. Aku tak tahu apakah dia sedang memandangiku atau tidak. Tapi senyuman kecil pada bibirku tak bisa dihentikan. Aku tau ini hal sepele, tapi buatku ini sesuatu yang cukup penting untuk diingat.

***

Aku sedang mencari imajinasi untuk melanjutkan fanfict idola cilik sambil berbaring di atas kasur lepet di dalam kamar kos ketika terdengar suara Rahmi dari luar, memanggilku.

"Iya sebentar," ujarku, lantas beranjak membuka pintu. "Ada apa?"

"Anter ke toko buku yuk? Mau beli buku kumpulan soal-soal UN, kan bentar lagi Ujian," katanya memandangku penuh harap. "Mau ya?"

Sepertinya tak ada salahnya jika aku mengantar Rahmi, lagian aku juga belum punya buku UN, menyelesaikan fanfict-kan bisa nanti malam. "Hmm... Boleh deh, aku juga mau sekalian beli. Bentar ya." Aku kembali masuk. "Yuk," ujarku setelah mengambil dompet dan tas selempang yang biasa kugunakan ke sekolah.

Aku berjalan menghampiri rak-rak buku novel. Tadi setelah memilih buku UN kami memutuskan untuk baca-baca dulu sebentar. Rahmi lebih suka bacaan religi daripada cerita novel yang menurutnya terlalu mengada-ada. Padahal menurutku berkhayal itu seru.

Aku mengambil sebuah buku tebal bersampul orange dengan gambar manusia berjubah di bagian sampul depannya serta tulisan 'Magician Guild' ditengahnya, di pojok kiri atas tertulis 'Book One'. Berarti buku trilogi. Kuteliti deretan buku yang berjejer di bawah buku yang kuambil tadi, ternyata benar ini novel trilogi. Dan sepertinya novel ini sudah lama terbit, karena buku kedua dan ketiga trilogi ini juga sudah terbit. Aku membalik buku tersebut, melihat label harga yang tertempel pada bagian belakang buku itu. Aku menghela napas pasrah ketika melihat harganya. Angka tujuh dan empat berurutan dengan tiga angka nol berjejer di belakannya. Mana cukup uang sakuku untuk membeli novel ini.

"Ehm..."

Aku mendengar suara deheman seseorang di sebelahku. Aku melirik ke arahnya. Napasku tercekat ketika mengetahui siapa seseorang itu. Sion. Aku langsung memalingkan kembali wajahku, berpura-pura sibuk meneliti novel yang sedang kupegang sambil berusaha menstabilkan detak jantungku yang berpacu terlalu cepat. Santai Irva. Tenangkan dirimu. Jangan gugup. Aku menghembuskan napas pelan berkali-kali, mendoktrin diriku dengan kata-kata sendiri.

"Kesini juga? Sama siapa?" Aku mendengarnya mengucapkan sesuatu. Hening membuat jeda setelah ucapannya selesai.

"Irva?"

"Eh?"

Apa aku tak salah dengar? Dia menyebut namaku? Artinya dia bertanya padaku? Benar-benar padaku? Oh... Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari apakah ada orang lain yang berdiri di dekatnya atau munhkin di belakangku. Dan ternyata tidak ada. Jadi dia benar-benar bertanya padaku.

"Halooo Irva?" Sion kembali memanggilku  kali ini sambil melambai-lambaikan tangan di hadapan wajahku, karena mungkin aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Ya? Oh... Iya ke sini, sama temen," jawabku gugup disertai senyuman, yang entah terlihat manis atau malah terlihat konyol.

"Suka novel fantasi juga ya?" tanyanya lagi, matanya melirik buku tebal yang kupegang.

"Hah? Yaaa... lumayan," jawabku dengan masih tidak percara, Sion mengajakku ngobrol. Sepele mungkin, tapi ini luar biasa bagiku.

"Novel itu bagus. Ceritanya seru. Aku pernah baca."

"Hah?"

Sion mengernyit heran sebelum kembali berujar. Mungkin dia bingung mendengar jawabanku yang tidak jelas dari tadi. "Iya. Novel Magician Guild yang sedang kamu pegang itu, ceritanya lumayan seru."

"Oh... Iya kayaknya seru," jawabku disertai cengiran yang mungkin semakin terlihat konyol.

Sion tersenyum kecil. "Beli buku UN ya?" tanyanya lagi, menunjuk pada buku panjang dan lumayan tebal yang kuapit dengan lengan atas tangan kiri. Mataku mengikuti arah telunjuknya, kemudian mengangguk kecil. "Wah... Tetep rajin kaya dulu ya. Pasti masuk sepuluh besar terus di kelas," katanya terkekeh kecil.

"Ah ga juga." Aku merasakan kedua pipiku memanas. “Ya alhamdulillah kalo sepuluh besar sih masuk,” ujarku sambil tersenyum kecil. Aku tak tahu itu sebuah pujian atau hanya gurauan, yang jelas kata-katanya membuatku merasa melayang. Dan sekarang aku hanya bisa tersenyum membalas perkataannya itu.

"Irva."

Aku menoleh ke belakang ketika mendengar suara teriakan seseorang memanggilku. Kulihat Rahmi tengah melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku mengangguk memberinya isyarat kalau aku akan segera ke sana.

"Duluan ya," kataku tersenyum kecil, menyimpan kembali novel yang sedang kupegang pada rak tempatnya bersemayam tadi. Kulihat dia menganggukkan kepala disertai senyuman. Oh… senyumnya manis sekali.

Aku berjalan pelan menghampiri Rahmi, dengan bibir yang terus tersenyum. Rasanya aku tidak mau melangkahkan kaki. Aku masih ingin berbicara dengannya. Melihatnya dari dekat seperti tadi. Mencium aroma khasnya. Mendengar suaranya. Melihat senyumannya. Aku ingin semuanya. Sion. Kenapa dia begitu mempesona dalam pandanganku. Padahal masih banyak laki-laki lain yang jauh lebih hebat darinya. Tapi aku tak bisa memikirkan sosok lain selain dia.

"Hei." Rahmi menyenggol lenganku. Membuat lamunanku buyar. "Ngelamun mulu. Itu bukunya bayar."

"Oh iya." Aku menyerahkan buku yang kupegang pada kasir.

"Semuanya lima puluh sembilan ribu." Suara Mbak kasir terdengar begitu jauh, atau lamunanku akan sosoknya yang membuat telingaku mendadak separti ini.

Sebelum benar-benar keluar toko, aku memandang kembali Sion sekilas. Dia masih di sana, di deretan rak-rak novel. Dan jika aku tidak kepedean dia balas memandangku disertai senyuman yang menghiasi bibirnya. Oh... Aku pasti terlalu percaya diri. Dia tidak mungkin tersenyum padaku seperti itu.

Aku rasa, aku tidak akan pernah melupakan kejadian di toko buku itu. Mungkin bagi kebanyakan orang itu kejadian sepele, tapi bagiku itu adalah suatu kenangan dengannya yang akan kusimpan dalam file kenangan terindah dalam memori otakku. Karena selama ini aku hanya bisa memandangnya saja, tanpa kata, tanpa komentar, dan tanpa balasan. Ya... aku tau, terdengar menyedihkan bukan?

***

Aku berjalan agak tertatih. Ya ampun. Kebaya dan sepatu hak ini benar-benar membuatku sulit berjalan. Kalau bukan karena ibu yang menyuruh, aku tidak akan mau memakainya. Memang, tadi adalah perpisahan di sekolahku, dan setiap murid perempuan diwajibkan memakai kebaya. Tadinya aku akan memakai sepatu 'teplek' milikku. Tapi ibu memaksa untuk memakai sepatu hak miliknya, dan sepatu itu sukses membuatku hanya bisa duduk diam.

Tapi, dari sekian banyak kejengkelan yang kualami hari ini, masih ada hal baik yang kualami. Pertama, hari ini aku mendapat pengumuman bahwa aku masuk PTN favoritku. Kedua, aku masuk sepuluh besar lagi di kelas. Dan ketiga, aku melihatnya memakai jas. Dia terlihat begitu tampan dan dewasa di balik balutan kemeja, jas, dan dasi yang dipakainya. Aku sampai senyum-senyum sendiri ketika melihatnya. Dan mungkin dia akan terlihat lebih keren lagi dengan balutan jas dan kemeja ketika mendampingiku di atas pelaminan nanti. Ya Tuhan... tolong kontrol khayalanku ini.

Aku membaringkan badan di atas kasur kamar dengan masih berbalutkan kebaya. Aku ingin meregangkan otot betis dulu karena memakai sepatu sialan itu.  Kuhirup udara sebanyak mungkin dan menghembuskannya perlahan. Akhirnya aku pulang juga ke rumah, setelah tiga tahun tinggal di kos-kosan. Sebenarnya tidak tiga tahun penuh, karena hampir setiap satu minggu sekali aku pulang, rasanya sangat senang bisa kembali ke rumah. Meskipun tak lama lagi aku harus pergi meninggalkan rumah ini untuk melanjutkan kuliah.

Sosok Sion yang memakai kemeja terus berputar dalam pikiranku. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Apakah akhirnya hanya seperti ini? Tak ada yang tahu tentang perasaanku, tidak Sion, tidak juga teman-teman, yah... kecuali adikku yang dengan lancangnya membaca buku harianku, semoga dia tidak membicarakannya pada siapapun termasuk pada orang tuaku.

Pandanganku menerawang menembus langit-langit kamar. Apakah semua ini harus berakhir tanpa jejak?

Aku bangun, menghampiri meja belajar untuk mengambil buku harian─sebenarnya hanya buku tulis biasa─dan pulpen yang tergeletak di sana. Aku duduk, lantas mulai menggerakkan tangan memuntahkan kata yang tiba-tiba berkelebat dalam kepala.

Kurangkai namanya dengan benang emas. Kuukir wajahnya dengan pisau abadi. Kurekat setiap kenangan dengannya. Kurekam suaranya dalam kaset memoku. Kubingkai senyumnya dalam figura ingatku. Kusimpan cintanya dalam relung hatiku

Andaikan. Andai ia tahu. Andai ia mengerti. Andai ia melihat. Betapa aku menyimpan jiwanya. Dalam setiap detakku.

Aku menghela napas memandang apa yang telah kutulis. Kuletakkan pulpen dan membaringkan kepalaku pada meja. Tuhan. Meskipun aku tidak bisa memilikinya saat ini. Tapi, izinkan aku untuk mengenangnya. Izinkan aku untuk boleh terus berharap jika suatu saat nanti dia akan datang, dan mengungkapkan perasaannya, bahwa dia juga mencintaiku. Hhh… Lagi-lagi harapanku terdengar begitu menyedihkan. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan apa yang kurasakan.

***

Berharap. Aku tau harapan tidak mungkin terwujud tanpa usaha. Tapi untuk yang satu ini, aku tidak tahu harus berusaha apa. Mungkin usahaku satu-satunya adalah menunggu, itupun jika menunggu termasuk usaha.*

No comments:

Post a Comment

Gomawo~