Tulisan ini saya buat dalam untuk memenuhi tugas narasi yang ditugaskan dosen mata kuliah Bahasa Indonesia pada semester awal saya belajar di STT Tekstil ini.
Teriakan senang, lega, gembira, puas, berbaur jadi satu. Ruangan kelas sederhana beserta isinya itu menjadi saksi bisu kebahagiaan kami. Aku tau dia ikut tersenyum senang. Banyak kenangan yang kami torehkan di sana. Suasana berisik, tenang, marah, kesal, sedih, gembira, dan berbagai suasana lain pernah kami buat. Tapi di antara kebahagiaan yang kami rasakan saat itu, terselip satu rasa sesak yang menghimpit. Yaitu suatu kenyataan, bahwa kami akan berpisah untuk menggapai impian masing-masing.
Harapan itu datang sangat besar. Setelah euphoria kelulusan kemarin aku masih berharap jika tujuh belas Mei sekarang, akupun akan menerima kebahagiaan yang sama. Institut Teknologi Bandung. Nama itu seperti raja yang menguasai semua pikiran.
Keringat dingin menerpa punggung, selepas shalat isya aku langsung mengambil ponsel. Membuka ‘Opera Mini’, lantas mengetikkan alamat www.undangan.snmptn.ac.id di sana. Dengan tangan sedikit gemetar, serta detak jantung yang berpacu cepat, aku ketik 411043376, yang merupakan nomor pendaftaran pada kolom yang tersedia. Perasaan was-was itu mendera ketika melihat tulisan ‘menghubungkan’ tertera pada layar bawah ponsel.
Rasanya seperti sebalok kayu besar yang menekan dada dengan kuat ketika aku melihat tulisan ‘Tidak lulus seleksi’ tertera di sana. Aku merasakan pelupuk mataku menghangat, pandanganku kabur, setetes cairan bening menetes membasahi pipi. Dan tanpa komando apapun, cairan bening lainnya ikut keluar menggenangi pelupuk mata, mengalir bersama perasaan kecewa yang kurasa. Aku terisak pelan, betapa kegagalan itu terasa begitu menyesakkan.
Malam itu aku mendadak sibuk, hampir setiap sepuluh menit sekali pesan singkat masuk. Menanyakan dan menjawab kabar hasil SNMPTN undangan. Walaupun sulit, aku mencoba ikut bahagia bersama temanku yang berhasil lulus seleksi, dan mencoba saling menyemangati bersama mereka yang sama-sama belum beruntung.
Dengan susah payah, aku mencoba bangkit, menyemangati diri bahwa masih ada kesempatan lain yang bisa kuikuti. Aku tau jika kesempatan itu sangat membutuhkan perjuangan. Tapi dengan bodohnya aku menyia-nyiakannya, merasa diri paling benar, paling pintar, yang faktanya aku hanyalah diri yang bodoh, dan tidak ada apa-apa. Karena lagi-lagi aku gagal dalam SNMPTN tulis. Namun kegagalan kali ini tidak membuatku begitu terpuruk. Air mata kecewa yang dulu keluar, tidak lagi menempakkan sosoknya. Aku sedikit tidak mengerti, apa itu karena aku terbiasa dengan kegagalan, atau karena aku masih mempunyai jaminan.
Dua hari sebelum pengumuman SNMPTN undangan, amplop itu datang. Amplop dengan logo seperti kipas angin, dan di sampulnya tertera Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. Membawa pemberitahuan kedua, bahwa aku masih diberi kesempatan untuk masuk STT Tekstil dari hasil seleksi PMDK gelombang pertama yang kuikuti Januari lalu. Amplop yang mulanya kudiamkan, ternyata merupakan masa depanku.
Aku sempat mencuri dengar pembicaraan kedua orangtua yang membicarakan tentang masa depanku. Betapa mereka begitu perhatian. Saat itu aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Aku baru menyadari, betapa aku selama ini telah menyia-nyiakan perhatian yang mereka berikan. Dan merasa lebih bodoh lagi, ketika aku kembali menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai aku belajar lebih serius, mungkin aku bisa lulus seleksi SNMPTN tulis, dan itu mungkin bisa membuat mereka bangga sekaigus lega. Sebenarnya mereka menawariku untuk mengikuti Ujian Mandiri yang diselenggarakan Universitas Pendidikan Indonesia, tapi aku menolak. Aku tidak mau terlalu membebani mereka dengan uang masuknya yang lumayan besar untuk ukuran keluarga kami.
Aku sangat berterimakasih pada kedua orangtuaku yang telah memilih mendaftarkan ulang ke STT Tekstil. Jika dulu aku tidak mengambil kesempatan kuliah ini, mungkin sekarang aku masih pengangguran. Pengangguran pelajar lebih tepatnya.
Aku cukup senang bisa belajar di STT Tekstil, karena aku bisa mendapat teman baru, suasana baru, dan bahasa baru. Sebenarnya bukan bahasa baru, hanya saja aku belum terbiasa berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Aku berharap dengan belajar di sana, aku bisa menjadai pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab.
Tapi, genangan harapan yang dulu pernah kubuat dari setiap tetes mimpi, akan tetap menjadi kolam keinginan yang suatu saat nanti ingin kuwujudakan. Aku akan selalu menurunkan rintik mimpi yang membuatnya tetap berkilau jika tertimpa matahari sore.
Waktu tak pernah berhenti untuk menunggu seseorang yang tertinggal. Tapi waktu selalu memberikan kesempatan di sepanjang jalan kehidupan.*
Genangan Harapan
Kata orang, semakin tinggi pohon, semakin besar angin yang berhembus. Jika pondasi akarnya tidak kuat, maka pohon tersebut akan tercabut dari tanah. Begitupun hidup. Semakin orang beranjak dewasa, semakin besar ujian yang menghadang. Jika pondasi harapannya tidak kuat, maka dia akan tercabut dari seleksi alam yang ia hadapi.
***
Teriakan senang, lega, gembira, puas, berbaur jadi satu. Ruangan kelas sederhana beserta isinya itu menjadi saksi bisu kebahagiaan kami. Aku tau dia ikut tersenyum senang. Banyak kenangan yang kami torehkan di sana. Suasana berisik, tenang, marah, kesal, sedih, gembira, dan berbagai suasana lain pernah kami buat. Tapi di antara kebahagiaan yang kami rasakan saat itu, terselip satu rasa sesak yang menghimpit. Yaitu suatu kenyataan, bahwa kami akan berpisah untuk menggapai impian masing-masing.
Harapan itu datang sangat besar. Setelah euphoria kelulusan kemarin aku masih berharap jika tujuh belas Mei sekarang, akupun akan menerima kebahagiaan yang sama. Institut Teknologi Bandung. Nama itu seperti raja yang menguasai semua pikiran.
Keringat dingin menerpa punggung, selepas shalat isya aku langsung mengambil ponsel. Membuka ‘Opera Mini’, lantas mengetikkan alamat www.undangan.snmptn.ac.id di sana. Dengan tangan sedikit gemetar, serta detak jantung yang berpacu cepat, aku ketik 411043376, yang merupakan nomor pendaftaran pada kolom yang tersedia. Perasaan was-was itu mendera ketika melihat tulisan ‘menghubungkan’ tertera pada layar bawah ponsel.
Rasanya seperti sebalok kayu besar yang menekan dada dengan kuat ketika aku melihat tulisan ‘Tidak lulus seleksi’ tertera di sana. Aku merasakan pelupuk mataku menghangat, pandanganku kabur, setetes cairan bening menetes membasahi pipi. Dan tanpa komando apapun, cairan bening lainnya ikut keluar menggenangi pelupuk mata, mengalir bersama perasaan kecewa yang kurasa. Aku terisak pelan, betapa kegagalan itu terasa begitu menyesakkan.
Malam itu aku mendadak sibuk, hampir setiap sepuluh menit sekali pesan singkat masuk. Menanyakan dan menjawab kabar hasil SNMPTN undangan. Walaupun sulit, aku mencoba ikut bahagia bersama temanku yang berhasil lulus seleksi, dan mencoba saling menyemangati bersama mereka yang sama-sama belum beruntung.
Dengan susah payah, aku mencoba bangkit, menyemangati diri bahwa masih ada kesempatan lain yang bisa kuikuti. Aku tau jika kesempatan itu sangat membutuhkan perjuangan. Tapi dengan bodohnya aku menyia-nyiakannya, merasa diri paling benar, paling pintar, yang faktanya aku hanyalah diri yang bodoh, dan tidak ada apa-apa. Karena lagi-lagi aku gagal dalam SNMPTN tulis. Namun kegagalan kali ini tidak membuatku begitu terpuruk. Air mata kecewa yang dulu keluar, tidak lagi menempakkan sosoknya. Aku sedikit tidak mengerti, apa itu karena aku terbiasa dengan kegagalan, atau karena aku masih mempunyai jaminan.
Dua hari sebelum pengumuman SNMPTN undangan, amplop itu datang. Amplop dengan logo seperti kipas angin, dan di sampulnya tertera Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil. Membawa pemberitahuan kedua, bahwa aku masih diberi kesempatan untuk masuk STT Tekstil dari hasil seleksi PMDK gelombang pertama yang kuikuti Januari lalu. Amplop yang mulanya kudiamkan, ternyata merupakan masa depanku.
Aku sempat mencuri dengar pembicaraan kedua orangtua yang membicarakan tentang masa depanku. Betapa mereka begitu perhatian. Saat itu aku merasa seperti orang paling bodoh di dunia. Aku baru menyadari, betapa aku selama ini telah menyia-nyiakan perhatian yang mereka berikan. Dan merasa lebih bodoh lagi, ketika aku kembali menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai aku belajar lebih serius, mungkin aku bisa lulus seleksi SNMPTN tulis, dan itu mungkin bisa membuat mereka bangga sekaigus lega. Sebenarnya mereka menawariku untuk mengikuti Ujian Mandiri yang diselenggarakan Universitas Pendidikan Indonesia, tapi aku menolak. Aku tidak mau terlalu membebani mereka dengan uang masuknya yang lumayan besar untuk ukuran keluarga kami.
Aku sangat berterimakasih pada kedua orangtuaku yang telah memilih mendaftarkan ulang ke STT Tekstil. Jika dulu aku tidak mengambil kesempatan kuliah ini, mungkin sekarang aku masih pengangguran. Pengangguran pelajar lebih tepatnya.
Aku cukup senang bisa belajar di STT Tekstil, karena aku bisa mendapat teman baru, suasana baru, dan bahasa baru. Sebenarnya bukan bahasa baru, hanya saja aku belum terbiasa berbicara menggunakan Bahasa Indonesia. Aku berharap dengan belajar di sana, aku bisa menjadai pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab.
***
Tapi, genangan harapan yang dulu pernah kubuat dari setiap tetes mimpi, akan tetap menjadi kolam keinginan yang suatu saat nanti ingin kuwujudakan. Aku akan selalu menurunkan rintik mimpi yang membuatnya tetap berkilau jika tertimpa matahari sore.
Waktu tak pernah berhenti untuk menunggu seseorang yang tertinggal. Tapi waktu selalu memberikan kesempatan di sepanjang jalan kehidupan.*
No comments:
Post a Comment