Bukan salahku jika aku gugup bersamamu. Bukan salahku jika bayangmu melekat erat dalam benakku. Bukan salahku jika tawamu terekam jelas dalam ingatku. Bukan salahku jika aku mencintaimu.
***
Aku mengenalnya sudah cukup lama. Sebenarnya dia biasa saja seperti kebanyakan orang lain. Entah apa yang membuatnya menjadi sedikit berbeda di mataku. Aku sendiri tak begitu mengerti.
Tak sengaja. Aku bilang 'tak sengaja' aku memandangnya, itu bukan disengaja. Terserah saja jika kalian menganggapku mencari alasan. Aku sendiri bahkan tidak tau kenapa mataku ini terus memandangi sosoknya.
Hari ini dia duduk di sampingku, bukan apa-apa, dia hanya menyalin pekerjaan rumah. Meskipun tangannya sibuk menyalin tapi mulutnya tak henti berceloteh tentang sesuatu yang sama sekali tidak penting. Aku tau, otaknya kadang beres kadang tidak. Sampai sekarang aku masih bingung orang seperti apa dia itu. Kadang urakan, kadang menyenangkan. Kadang menyebalkan, kadang ia bisa menjadi seorang yang dewasa. Tapi satu hal yang aku tau. Aku mencintainya. Entah dari sisi mananya yang membuatku tersihir.
***
Hari sudah semakin siang, matahari mulai meninggi. Beberapa temanku mungkin sedang berceloteh ria di kantin atau hanya sekedar nongkrong gak jelas di depan kelas. Dan lagi-lagi aku di sini, bersama novel dan secarik kertas seperti biasa. Aku menyukai suasana tenang seperti di perpustakaan sekolah ini. Tidak. Aku tidak sedang membaca buku pelajaran. Aku hanya numpang duduk untuk membaca novel atau menulis cerita. Atau aku hanya numpang duduk di sini untuk menenangkan diri, dan beberapa kali sampai tertidur.
“Gue tau lo pasti di sini.” Sebuah suara yang kukenal menyapa telinga. Aku menengok. Sedikit terkejut sebenarnya mendapati dia yang sudah duduk pada kursi di sebelahku.
“Tumben lo ke sini. Kesambet apaan?” Aku berujar seenaknya dan kembali menekuni novel yang sedang kupegang. Berusaha mengaburkan kegugupan.
“Enak aja lo bilang gue kesambet.” Ia mendorong pelan kepalaku dengan jari telunjuknya, membuatku meringis kecil. “Gue lagi pengen di tempat sepi aja.” Aku mendengarnya menghela napas saking kerasnya ia menghembuskan napas.
Dengan ujung mata bisa kulihat ia mengacak rambut dan menghela napas beberapa kali. Sepertinya ia sedang punya masalah. Haruskah aku bertanya? Aku menghela napas pelan. Baiklah. Kututup novel yang sedang kupegang dan memberanikan diri menghadap ke arahnya.
“Lo... lagi ada masalah ya?” Aku berujar sesantai mungkin.
Ia menatap ke arahku. Alisnya menyatu, matanya yang selalu membuatku terpesona menatapku cukup lama, lantas tersenyum kecil. Bukan. Itu bukan senyuman. Tapi itu seringai kecil. Sepertinya ia mengejekku. Chhh... dasar! Aku menyesal telah bertanya seperti itu padanya.
Ia menatap ke arahku. Alisnya menyatu, matanya yang selalu membuatku terpesona menatapku cukup lama, lantas tersenyum kecil. Bukan. Itu bukan senyuman. Tapi itu seringai kecil. Sepertinya ia mengejekku. Chhh... dasar! Aku menyesal telah bertanya seperti itu padanya.
“Jangan bilang lo khawatir sama gue?” Ia kembali tersenyum menyebalkan.
Aku melongo sesaat. “Te-tentu. Lo temen gue, ya gue peduli lah.” Aku menggosok-gosok hidung, kebiasaanku ketika gugup. Dasar cowok aneh! Aku menggerutu pelan. Kalau saja ini bukan perpustakaan. Sudah aku acak-acak dia.
Aku sangat ingin mencabiknya ketika detik berikut tawanya terdengar menggelegar memenuhi ruang perpustakaan yang sepi. Hampir semua yang ada di ruangan ini memandang ke arah kami. Aku melotot kesal padanya. Refleks kubekap mulutnya dengan tanganku dan tersenyum tak enak serta mengucapakan maaf pelan berulang kali pada mereka yang masih memandang ke arah kami.
“Maaf. Silahkan lanjutkan kembali membacanya.” Aku menganggukkan kepala sedikit.
Kulepaskan bekapan tanganku dari mulutnya dan menatapnya kesal.
Kulepaskan bekapan tanganku dari mulutnya dan menatapnya kesal.
“Lo tuh ya. Bikin malu aja,” ujarku. Lantas berdiri hendak pergi.
Aku baru saja melangkahkan sebelah kaki ketika ia menarik tanganku tiba-tiba yang refleks membuatku terduduk kembali. Aku hampir jatuh menimpanya jika sedikit saja terlambat menyeimbangkan diri.
“Temenin gue sebentar aja,” ucapnya parau.
Aku hanya bisa melongo memandangnya. Ia memintaku untuk menemaninya? Apa aku salah dengar? Atau dia yang salah menganggap aku ini orang lain? Aku mendekap novel dan secarik kertas yang sedang kupegang, menempelkannya erat pada dadaku. Aku bisa merasakan dengan tanganku sendiri, kalau jantungku saat ini sedang berdetak cepat. Seolah akan meloncat keluar dari tempatnya.
Aku masih terbengong-bengong ketika tiba-tiba saja kepalanya bersandar di pundakku. Aku merasa pundakku tiba-tiba terasa lemas. Dia. Dia menyandar dipundakku dan sebelah tanganku masih ada dalam genggamanya. Ya Tuhan!
“G-gue bukan Sivia.” Refleks mulutku mengucapkan kata itu.
“Gue gak butuh Sivia saat ini,” ucapnya parau.
“G-gue juga bukan Agni.” Aku masih mengira kalau ia salah menganggap aku ini orang lain.
“Gue tau. Lo Irva. Gue tau itu, dan gue gak lagi salah orang.” Aku bisa mendengar nada suaranya sedikit kesal. Aku hanya bisa diam dan membungkam mulutku. Jantungku masih berdetak tak karuan. Wajahku memanas, aku yakin wajahku sudah memerah saat ini. Jika saja dia melihat perubahan warna pada wajahku, habis sudah aku diejeknya.
“Ki-kita diliatin banyak orang.” Aku berujar gugup ketika beberapa orang memandang kami ingin tau.
“Sebentar saja. Sebentar saja aku ingin meminjam pundakmu. Apa tidak boleh?” Suaranya bergetar. Seperti menahan tangis.
“Te-tentu saja boleh.” Aku tersadar akan perkataanku, jangan sampai dia salah paham. “Ma-maksudku kita teman. Ja-jadi kita ha-harus saling membantu. He-em begitu.” Aku merutuk kegugupanku sendiri pada situasi seperti ini.
“Aku tau. Aku mengerti.” Suaranya seperti sedang mengigau.
Lewat ujung mata aku bisa melihat ada butiran-butiran bening yang keluar melewati kelopak matanya. Perlahan. Aku menggerakan tangan sebelahku yang masih mengenggam novel. Menyimpannya pada meja bersekat di hadapanku, lantas menggerakkannya pelan menyentuh ujung kepalanya. Mengusapnya pelan, berharap ia merasa sedikit tenang.
“Ka-kalo lo mau cerita. Cerita aja.” Aku masih sedikit gugup dengan kejadian ini yang begitu tiba-tiba. Aku melihatnya tersenyum kecil yang membuatku ikut tersenyum juga.
“Woy!” Sebuah suara keras membuyarkan semua lamunanku. “Ngapain lo senyum-senyum gak jelas kek gitu.” Aku merasakan sebuah tangan mendorong sedikit keras kepalaku. Aku mengusapnya pelan, lantas memandang kesal ke arahnya.
“Ngelamunin apaan lo siang bolong gini? Hayooo... Ngayal jorok ya lo.” Ia menatapku penuh selidik. “Ngaku lo.”
Sesaat aku melongo tak bisa membalas kata-katanya. “Enak aja lo. Emangnya gue elo, yang otaknya ngeres tiap hari? Ihhh... sorry ya. Otak gue tuh polos, bersih, jernih, cemerlang, gak kaya otak lo yang udah terkontaminasi.” Aku memandangnya sinis.
“Jernih? Lo pikir aer jernih.” Ia kembali tertawa mengejek. Cih! Dasar menyebalkan!
“Atau jangan-jangan...” Ia mencondongkan wajahnya ke arahku, yang refleks membuatku memundurkan kepala. Wajahnya dibuat sok serius. “Lo lagi ngelamunin gue ya?”
Aku melongo sesaat mencerna setiap kata yang ia ucapkan. Aku jadi malu sendiri mengingat bahwa memang dialah yang sedang kulamunkan. Membayangkan jika itu benar-benar terjadi, maksudku jika ia mempunyai masalah, akulah orang yang ingin pertama kali ia temui, hanya akulah orang yang bisa membuatnya tenang. Oh. Bagaimana mungkin aku bisa menyukai seorang aneh seperti dia. Perlahan wajahku kembali terasa panas. Aku yakin, kali ini wajahku sudah memerah. Belum sempat aku melontarkan kata-kata balasan, tawanya tiba-tiba menyembur. Membuat teman-teman sekelas melirik ke arah kami.
"Iya kan, lo ngelamunin gue. Gue tau gue emang ganteng, tapi lo ga usah segitunya deh ngelamunin gue," ujarnya menyebalkan.
"Iya kan, lo ngelamunin gue. Gue tau gue emang ganteng, tapi lo ga usah segitunya deh ngelamunin gue," ujarnya menyebalkan.
“Y-ya gak mungkin lah. Lo tuh ya. Emang bener-bener nyebeliiin. Kepedean pula. Amit-amit deh gue punya temen kaya lo.” Aku mulai merasakan keringat dingin mendera punggungku.
“Wajah lo merah banget Va. Hahaha.” Ia kembali tertawa mengejek. Lantas mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya berlari keluar kelas dengan tawanya yang semakin membahana.
“Ieeeelllll! Awas lo ya! Mati lo abis ini!” Aku berdiri, dan berjalan cepat mengejarnya yang sudah meninggalkan kelas.
Oh ya Tuhan! Apa aku benar-benar menyukainya? Orang seperti ini? Orang seperti dia? Apa aku gila? Tapi bagaimanapun, aku selalu menikmati setiap detik yang kulewatkan dengannya. Aku kembali tersenyum mengingat imajinasiku tadi yang... entahlah apa itu konyol atau tidak. Tuh kan! Lagi-lagi aku tersenyum sendiri membayangkannya.
***
Kurangkai namanya dengan benang emas. Kuukir wajahnya dengan pisau abadi. Kurekat setiap kenangan dengannya.
Kurekam suaranya dalam kaset memoku. Kubingkai senyumnya dalam figura ingatku. Kusimpan cintanya dalam relung hatiku
Andaikan... Andai ia tahu. Andai ia mengerti. Andai ia melihat. Betapa aku menyimpan jiwanya. Dalam setiap detakku.*
No comments:
Post a Comment