"Maaf." Wanita itu menunduk, berujar pelan. "Aku tak akan menemuinya lagi."
Alvin, seorang lelaki berperawakan tinggi, hanya menatap Wanita di
hadapannya. Meskipun rahangnya mengeras menahan marah, bibirnya
menyunggingkan seulas senyum tipis.
"Sudahlah," lirih Alvin, meghela napas pelan, lantas tangannya
mengelus lembut pipi kiri Wanita itu. "Selama kau tak menemuinya lagi
itu sudah cukup," ujarnya kembali. Wanita di hadapan Alvin mendongak,
tersenyum, lantas memeluk lelaki itu.
"Aku mencintaimu." Wanita itu berkata lirih.
Perlahan tangan Alvin membalas pelukannya. Bibirnya kembali menyunggingkan seulas senyum tipis.
***
Dalam sebuah ruang remang-remang itu hanya ada keheningan yang
menguasai. Alvin duduk di salah satu kursi penuh tumpukan kain.
Tangannya dengan lihai memainkan jarum dan benang di atas kain lebar
berwarna ungu. Senyum tipis khasnya kembali terlihat pada bibirnya
ketika teringat kejadian tiga hari lalu. Saat itu ia hendak mengambil
bunga liar di salah satu taman tak terawat dekat rumah. Disanalah ia
menemukan Wanita itu bersama Lelaki yang dilihatnya tempo hari. Alvin
hanya tersenyum simpul ketika teringat kejadian itu.
"Kamu akan suka gaun ini, Sayang. Kamu selalu bilang suka warna ungu.
Kali ini aku khusus membuat gaun ungu ini untukmu." Lelaki itu terus
tersenyum seraya tangannya tak henti menggerakan jarum pada kain di
hadapannya. "Aku hanya ingin kamu menjadi milikku seorang."
***
Suasana kampus sudah mulai sepi sore itu ketika Alvin dengan setia
menunggu Wanita yang ia cintai di depan kelas. Senyumnya mengembang
ketika pujaan hatinya keluar dari pintu kelas.
"Udah lama?" Wanita itu berujar ceria.
Alvin menggeleng pelan. "Berangkat sekarang?" ujarnya kemudian.
Wanita itu mengangguk, lantas menyampirkan lengannya pada lengan Alvin.
"Baru kali ini aku ke rumahmu, apa orangtuamu tak marah kalau ada wanita berkunjung ke sana?" Wanita itu bertanya khawatir.
"Tidak. Aku sudah menceritakan semua tentangmu pada mereka," jawab Alvin yang membuat Wanita itu kembali tersenyum.
***
"Ini rumahmu?" Wanita itu bertanya keheranan ketika melihat rumah
Alvin yang cukup besar namun tak terawat di hadapannya. Kotak pos yang
harusnya bertengger di atas pagar kini tergeletak menyedihkan di atas
rumput, hampir tertutupi dedaunan tua dan lembab.
Alvin hanya menganggukkan kepala menanggapi pertanyaan kekasihnya.
"Sedikit tidak terawat memang. Kami terlalu sibuk dengan urusan
masing-masing, jadi ya... begitulah. Ayo masuk," ujarnya tak acuh,
seolah hal itu sudah sangat biasa.
Alvin mempersilahkan Wanita itu memasuki rumahnya. Dengan langkah
ragu, Wanita itu memasuki pekarangan rumah Alvin yang cukup menyeramkan?
***
"Aaaaarrrgggggggghhhh!"
Hari sudah beranjak gelap ketika jeritan itu terdengar. Sebuah jeritan pilu antara takut dan sakit.
"Pelankan suaramu, aku tidak akan menyakiti tubuh indahmu. Aku hanya
ingin kau menjadi milikku." Alvin berujar pelan, tangannya membekap
mulut Wanita yang terbaring lemah di hadapannya. Genangan darah
menggenang di sekeliling mereka.
Wanita itu hanya bisa terisak dan meringis. Rasa takut dan kalut menjalari sekujur tubuhnya.
"A-a-pa salah-ku? Bukan-kah k-k-au men-cin-ta-i-ku? Ke-na-pa k-ka-mu te-ga...."
"Stttt..." Alvin mendekatkan jari telunjuk pada bibir mungil Wanita
itu yang berkata terbata menahan rasa sakit yang luar biasa. "Rasa sakit
ini tak akan berlangsung lama. Kamu hanya perlu diam dan nikmati."
"Hmmppp!"
Mungkin itu suara terakhir yang keluar dari mulut Wanita itu ketika pisau yang Alvin pegang tepat menghunus jantungnya.
Alvin tersenyum tipis. Tangannya yang tanpa beralaskan apapun
mengambil jantung Wanita itu, lantas ia simpan dalam sebuah toples kaca.
Lalu dengan telaten, tangannya membersihkan tubuh Wanita itu yang
bergelimang darah.
"Cantik. Kamu memang cocok sekali dengan gaun ungu ini. Tetaplah di
sini bersamaku sayang." Lelaki itu tersenyum, memandang kekasihnya yang
kini telah mengenakan gaun ungu buatannya.
"Ibu, jaga mereka untukku," ujarnya seraya meletakkan toples kaca
yang ia pegang di hadapan sesosok Wanita bergaun putih yang berdiri kaku
dalam sebuah peti kaca.
Alvin menutup pintu, meninggalkan ruangan penuh peti kaca tadi dengan kekasih-kekasihnya yang mengenakan gaun berbagai warna.*
No comments:
Post a Comment