Aku berada di kantor tempat kerja, tapi ruang tamunya sedikit berbeda. Kuamati sekeliling sejenak, dan akhirnya menyerah ketika tak menemukan apapun yang membuat ruang tamu ini terasa berbeda. Di sana ada yang mau wawancara, wajahnya tidak begitu terlihat. Dia duduk di kursi dekat pinggir pintu, cahaya dari luar cukup menyilaukan mata sehingga wajahnya tak terlihat jelas. Tapi setelah kuperhatikan beberapa lama dengan menajamkan penglihatan, ternyata dia teman sekampungku.
“Asep? Asep ya?” Aku agak ragu bertanya. Dia menganggukkan kepala seraya tersenyum.
Kami mulai ngobrol ringan di sana, tanya kabar keadaan keluarga di kampung halaman. Kami sedang asik-asiknya mengenang kampung halaman, ketika ada rombongan keluarga memasuki ruang tamu. Mereka tamu di tempat kerjaku. Karena kursinya tidak akan cukup kalau kami semua duduk di ruangan itu, akhirnya aku dan salah satu temanku, yang entah kapan datangnya langsung masuk ke dalam.
Di dalam ada salah satu teman SMP-ku dekat tangga sedang melakukan ritual aneh, katanya itu untuk mengusir setan. Dia mengumplkan roh-roh halus terlebih dahulu, lalu memusnahkannya. Ketika aku dan teman kerjaku akan menaiki tangga, dia bilang dia akan memanggil roh halusnya jadi kami disuruh untuk cepat-cepat menaiki tangga sebelum roh itu muncul. Karena siapa tau roh itu akan menempel pada kami. Aku buru-buru menaiki tangga disusul temanku yang juga ikut tergesa. Berbarengan dengan menginjakkan kaki pada tangga terakhir, roh-roh itu bermunculan. Sebenarnya roh itu tidak terlihat, tapi entah kenapa aku tau kalau roh itu sudah mulai berdatangan.
Aku dan temanku menyaksikan teman SMP-ku itu melalukan ritual pengusiran dan pemusnahan roh dari lantai dua. Omong-omong setelah kuperhatikan sekeliling, ruangan ini sangat luas dan ramai, hampir menyerupai mall. Entahlah, aku tidak tau sejak kapan tempat kerjaku seluas ini. Ah… lupakan.
Setelah beberapa saat teman SMP-ku itu mendongak ke atas. Tapi dia berubah, dia bukan lagi teman SMP-ku tapi senior di tempat kerjaku. Entah kenapa aku mengabaikan perubahan itu, dan malah langsung bertanya padanya, “Apakah ritualnya sudah selesai?”
Dia hanya menganggukkan kepala, dan katanya aku harus dites atau dibersihkan atau entah apalah istilahnya. Takut-takut salah satu roh itu ada yang menempel padaku ketika menaiki tangga tadi. Dia mendekati kami menuju lantai dua dengan membawa suntikan. Tunggu. Suntikan? Apa aku tak salah lihat? Aku langsung menolaknya mentah-mentah.
“Gak! Saya gak mau disuntik!” Aku berteriak agak keras.
“Tapi kamu harus disedot, gak akan sakit kok. Hanya untuk mengambil roh yang nempel saja.” Dia terus berjalan ke arahku dengan mengetuk-ngetukan suntikan di tangan layaknya seorang dokter siap menyuntik pasien. Tapi aku kan bukan pasien saat ini, dan dia bukan dokter.
“Gak! Saya gak mau!” Aku terus berteriak seraya berlari.
Aku berlari menuju tangga turun, disusul seniorku itu yang masih membawa suntikan berusaha untuk menyedotku atau menyuntikku. Ah aku tak tau apa istilahnya. Aku buru-buru menuruni tangga yang disana banyak sekali orang. Setelah kuperhatikan ternyata mereka semua atasan-atasanku di tempat kerja. Salah satunya langsung menegur judes.
“Kamu ga sopan. Gak liat kami sedang melakukan apa di sini?” ujar salah satu Ibu berkacamata dengan ketus.
Mereka semua membawa buku tebal besar berwarna hijau merah, dan berdiri berurutan dengan posisi tertentu. Sepertinya sedang melakukan ritual sesuatu. Atau apalah itu aku tak tau.
“Maaf maaf saya ga liat, saya tadi buru buru.” Aku menjawab sesopan mungkin. Meski sedikit kesal dengan nada judesnya aku harus tetap sopan. Walau bagaimanapun mereka atasanku.
“Kamu harusnya sopan. Kamu tau kan harus mengucapakan apa dulu kalau lewat sini?” ujarnya lagi dengan nada yang sama.
“Ah maaf.”
Aku melihat senior kerjaku yang bawa suntikan itu semakin dekat berjalan ke arahku. Aku langsung mengucapkan salah satu kata aneh yang katanya itu untuk ucapan permisi. Aku sendiri bahkan tak tau kenapa aku bisa tau kata itu, dan bahkan sekarang sudah lupa lagi.
Beberapa bapak-bapak atasan kerja yang ada di depan langsung memberikan jalan untukku supaya bisa lewat. Aku langsung menyeruak kerumunan dengan beberapa anak SMA, entah dari mana anak-anak SMA ini muncul. Dan ketika aku sudah sampai pada tangga terakhir, anak SMA itu sudah nongkrong-ngongkrong di sana, di jalanan bawah tangga. Padahal tadi mereka di belakang. Entahlah.
Aku langsung berjalan menuju gerbang keluar sekolah, kenapa jadi di sekolah? Aku juga tak tau. Aku berjalan ke pelataran sekolah SMA yang beberapa bagian berbeda posisinya. Hanya lemari piala yang berjejer di koridor sekolah yang posisinya tetap sama. Mungkin ada renovasi. Aku berjalan dari sana, keluar gerbang menuju jalanan kecil beraspal.
Di jalanan itu bayak tikus mati berserakan. Tikusnya sebesar kucing dewasa dengan darah menggenang disekitar tubuh. Itu benar-benar menjijikan dan menyeramkan, aku tak tau harus jalan lewat mana. Akhirnya aku hanya bisa melangkahinya dengan meginjak beberapa bagian aspal yang tidak terkena genangan darah tikus supaya bisa lewat. Tiba-tiba aku mendapat semacam bayangan, kalau tikus-tikus itu mati karena tertabrak mobil yang lewat. Aku juga tak tau kenapa bisa dapat bayangan itu.
Aku tak boleh terlalu lama di sini. Tanpa pikir panjang aku berlari sekencang mungkin, masuk ke salah satu lapangan di pinggir kanan, dan ternyata itu tempat pemakaman masal. Bulu kudukku langsung meremang, aku harus cepat pergi dari sini. Aku berlari terburu-buru melewati nisan-nisan, bahkan beberapa terinjak. Ketika melewati makam kecil, mungkin makam seorang bayi, kakiku tak sengaja membentur batu nisannya sehingga batu nisan itu terlepas. Rasa takut langsung menyerbu, dengan buru-buru aku membetulkan posisi nisan itu. Pikiran takut semakin menyerang, dengan tangan gemetar dan badan penuh keringat dingin, kubetulkan batu nisan itu seperti semula yang kenyataannya lebih sulit dari yang dibayangkan. Nisan itu tak kunjung berdiri, apalagi dengan tangan gemetaran seperti ini.
Terlepas dari pemakaman, aku sampai di pekarangan sekolah SMA lagi. Aku langsung masuk dari samping bangunan, bertemu salah seorang teman, namanya…namanya…ah aku lupa namanya, aku langsung menceritakan kejadian tadi.
“Saya tadi ga sengaja nendang batu nisan di pemakaman sana, dan benerinnya susah. Nisannya gamau berdiri terus, apa karena tanahnya kering ya? Mungkin lagi musim kemarau kali ya?” Aku mulai bercerita.
Kami berjalan beriringan sampai dia pergi ke jalan yang berbeda. Aku melewati samping sekolah, dan sampai di perpustakaan sekolah, ya perpustakaan, aku ingat tempat ini. Tunggu sepertinya ada yang berbeda. Aku terus berjalan menuju pagar depan perpustakaan, pagar itu terkunci. Dari luar seorang gadis hendak masuk dan membuka pagar itu, aku berjalan menghampirinya dan……….. blashhhhhhh
Aku tak ingat apa-apa lagi. Yang kuingat selanjutnya aku mematikan alarm handphone dan menyalakan lampu kamar. Jam setengah empat pagi, aku harus siap-siap berangkat kerja. Dengan mata sedikit terpejam, aku berjalan ke arah lemari untuk mengambil baju ganti setelah mandi. Dari luar suara tarhim mulai terdengar bersahutan.*
No comments:
Post a Comment