Ruangan ini sedikit berisik. Sepupuku Riko dan Dimas dengan perbedaan umur layaknya ayah dan anak sibuk berdebat membahas buku cerita. Entah di bagian apanya yang mereka perdebatkan. Adikku sibuk dengan ponsel di atas kursi, remaja tanggung itu akhir-akhir ini selalu sibuk dengan ponselnya, aku tak tau apa yang membuatnya begitu terpikat pada layar ponsel, mungkin dia sudah punya pacar, entahlah. Ayu teman sekelasku sedari tadi masih berkutat dengan laptop, mengejar deadline jadwal sidang yang sebentar lagi akan berakhir. Aku sendiri hanya menuliskan sebagian pikiran absurdku pada kertas bekas, yah sebenarnya tak ada hal penting yang kulakukan saat ini. Hanya ikut berkumpul dengan mereka.
“Dateng lagi tuh anak. Ngapain dia? Bukannya kemarin katanya mau balik ke Jakarta?” Komentar Ayu langsung membuatku mengalihkan pandangan ke arah pintu luar yang terbuka, memperlihatkan halaman depan rumah.
Deva, remaja tanggung seumuran Adikku berjalan memasuki halaman rumah dengan senyum terkembang di bibir. Bocah yang aku tau masa-masa dia masih pake popok itu tumbuh menjadi remaja tinggi, dan sedikit 'genit'.
“Hai Kak Ayu,” sapanya begitu memasuki ruangan, melambaikan tangan seraya tersnyum seolah dia selebritis.
“Maen hape mulu lu Ras.” Pandangannya beralih pada Adikku yang sibuk berkutat dengan ponsel sedari tadi. Adikku hanya menoleh sebentar, lantas kembali sibuk dengan layar ponsel.
“Halo sayaaaang.” Ia mengerlingkan mata genitnya ke arahku yang langsung membuatku mengerutkan kening.
“Ih si sayang ga jawab panggilan aku,” katanya pura-pura merajuk.
“Sayang apaan? Ga sopan.” Aku mendongak menatapnya yang hendak duduk di sampingku.
"Aku jauh-jauh balik lagi dari Jakarta ke sini cuma buat nemuin kamu doang lho Yang. Masa ga dianggep sih." Remaja tanggung itu pura-pura merajuk, mempoutkan bibir yang malah membuatnya mirip orang kebelet. "Aku tuh masih kangen tau sama Kak Kiran-ku yang imuuut," ujarnya dengan nada manja sembari menubit pipiku.
“Aku simpen makanan dulu ya,” ujarnya kemudian seraya berjalan menuju dapur, membawa bungkusan yang sedari tadi ia jinjing. Dan aku hanya bisa melongo.
“Tuh anak kerasukan apaan ya,” gumamku pelan.
“Yaaaaang aku bawain kue kesukaan kamu lho. Mau ga?”
Pranggggg!
Suara piring pecah membuatku tersentak. Perlahan aku membuka mata. Kulihat atap kamar yang gelap sedikit remang-remang. Aku mengerutkan kening bingung, lantas duduk sembari mengucek mata yang masih lengket karena kantuk.
“Kenapa aku bisa mimpiin anak SMA yang suka sama aku? Siapa lagi tuh Si Deva. Perasaan aku ga kenal yang namanya Deva,” batinku bingung. Tanganku bergerak meraih ponsel di ujung kasur. Jam empat pagi.
“Tau dah,” batinku tak peduli. Aku bangun dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar, mengambil handuk, lantas menuju kamar mandi bersiap untuk berangkat kerja. Hari senin biasanya jalanan macet, aku harus berangkat lebih pagi.*
No comments:
Post a Comment