Tuesday 22 May 2018

Ikut Lomba

Sore ini Ibuku berkunjung ke dalam kamar. Beliau menatap nanar pada hamparan kata yang terpapar di udara. 

Ibuku bertanya, "Permainan kata apa lagi yang kau lakukan saat ini?" 

Aku menjawab, "Aku sedang ikut lomba, Ibu. Bukan bermain kata-kata."

Wednesday 29 November 2017

Ajag

“Ajag ajag!”

Suara orang kampung bergemuruh riuh, meramaikan suasana malam. Kobaran api dari lampu obor yang mereka bawa juga ikut menerangi malam yang pekat itu.

***

“Iya Ceu, Bibi aku juga pernah lihat, katanya serem. Matanya merah, hidungnya panjang. Dan besoknya, bibi aku langsung sakit keras.” Ratih berujar dengan ekspresi yang sangat serius.

“Tuh kan. Berarti cerita itu benar. Aku kira cuma kabar angin saja.” Ita ikut menimpali ucapan Ratih dengan tak kalah serius.

“Apanya yang bener? Kalian tuh harus jaga omongan, gak boleh ngomongin sembarangan jurig ajag.” Ambu ikut bergabung dengan mereka, tangannya penuh membawa nampan berisi pisang goreng yang baru matang.
---
“Bu. Ratih tidur sama Ambu ya? Asa keueung.” Ratih berdiri di ambang pintu kamar Ambu yang terbuka.

“Iya Tih. Ayo sini.”

***

“Telah berpulang ke rahmatullah Ratih binti Sadid, Rita binti Ubo, dan Ukoy binti Akan, dini hari ini…”
Suara dari speaker mesjid menggema, mengisi keheningan dini hari yang masih cukup gelap.*

Kencit

“Sekarang lagi banyak kencit. Kamu kalau simpan uang, simpannya di kaleng terus kasih bawang putih sama jarum biar gak hilang.” Emak sedari tadi terus-terusan bicara tentang kencit. Para tetangganya sudah banyak yang hilang uang, tetapi hanya satu lembar yang hilang dari semua tumpukan uang yang mereka simpan. Dan tadi malam satu lembar uang lima puluh ribu Emak ikutan hilang, semantara lima lembar sisanya masih utuh berjejer di dompet.

“Zaman sekarang gak ada Mak yang kaya gitu-gituan. Paling Emak lupa nyimpen, siapa tau nyelip lagi di tumpukan baju kaya kemarin-kemarin.” Asep anak bungsu Emak menimpali dari dalam kamar.

“Kamu itu kalau dibilangin sama orang tua gak pernah nurut. Udah banyak yang hilang uang di kampung kita, hilangnya cuma satu lembar. Kalau sama maling pasti semuanya langsung diambil, gak cuma satu lembar aja.” Emak terus berbicara dari dapur, tangannya masih sibuk memarut singkong.

“Sudah kubilang, jangan ambil uang Emak! Aku miara kamu tuh biar kaya, ya ambil uangnya jangan dari rumah ini. Masa aku harus kasih tau kamu terus-terusan.”

“Kamu ngomong apa barusan Sep? Gak kedengeran,” tanya Emak, meninggikan suaranya karena suara Asep tidak begitu terdengar dari dapur.

“Bukan Mak. Ini lagi telponan sama temen,” jawab Asep ikut meninggikan suara, menjawab pertanyaan Emak.*

Wednesday 25 October 2017

Obrolan

"Masa depanmu mati tertimpa daun," kataku.

Kamu hanya terbahak kencang. Kamu bilang, "Aku sedang tidak ingin mendengar puisimu."

"Aku tidak sedang berpuisi," kataku.

Kau akhirnya terdiam, kemudian lari meninggalkan ragamu bersamaku. Kamu bilang, "Sialan."

Monday 23 October 2017

Tikusinati

Malam ini insomnia kembali menyerang. Sudah hampir lima jam aku berguling kesana-kemari di atas kasur, tetapi mata ini masih enggan terpejam. Dan para tikus di atap sana seolah mengejekku. Mereka terus berlarian entah sedang mengejar apa, membuat suara gaduh tak henti-henti. 

Mungkin karena kepalaku yang seringkali pusing ketika mengalami insomnia, diantara cicitan menjijikan para tikus itu aku mendengar suara, "Kita harus melakukan rencana selanjutnya, supaya bisa segera menguasai bumi."

Thursday 10 August 2017

Pertemuan Klise

Aku bertemu dengannya setahun yang lalu di hari pertama kuliah, kami sama-sama mahasiswa baru saat itu. Pertemuan klise seperti di cerita-cerita. Dia menolongku ketika aku hampir terjatuh saat menyebrang di jalan depan kampus. Tangannya dengan sigap membantuku berdiri, setengah menyeretku ke pinggir jalan. Dengan ukuran tubuhnya yang hampir sama denganku dia cukup kuat.

“Kamu ga apa-apa?”

Suaranya adalah hal termerdu yang pernah aku dengar. Aku hanya bisa mengangguk dan sedikit tersenyum.

“Bisa jalan? Mau masuk bareng?”

Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk dihadapannya. Mulutku terlalu kaku untuk bicara. Dia tersenyum manis seraya menuntunku berjalan memasuki gerbang. Aku pelan-pelan mengikuti langkahnya, berusaha keras supaya bibirku tak tersenyum terlalu lebar. Oh... pipiku terasa panas.

Saturday 5 August 2017

Alibi

Kamu pernah bertanya padaku, “Kenapa tulisanmu pendek?”

Aku hanya bisa menjawab, “Karena kebanyakan orang tidak suka bacaan panjang.” Dan kamupun tersenyum seolah mengerti.

Sungguh, harus berapa kali kukatakan padamu? Itu bukan karena kataku buntu.

Wednesday 2 August 2017

Peti Hati

Aku selalu menyimpan hatiku dalam peti. Menguncinya di sana supaya tidak kotor. Aku hanya takut ia hilang atau jatuh. Aku takut ia kotor dan berdebu. Tapi ternyata hal yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadi tiba-tiba. Kunci petinya hilang entah kemana. Aku tak bisa mengambil hatiku. Pernah aku berpikir untuk menghancurkan petinya saja, tapi hatiku terlalu rapuh. Aku takut hatiku ikut hancur jika petinya kuhancurkan. Ah... biarlah. Aku tetap bisa hidup tanpanya. Biarkan saja hatiku tetap aman di dalam sana.

Pojok Benak

Kadang aku tak suka peristiwa istimewa, karena ketika peristiwa itu telah lewat aku akan sangat merindukannya, rasanya ingin kembali pada kejadian istimewa itu. Atau kadang ketika peristiwa istimewa itu tidak berjalan lancar sesuai yang dibayangkan, rasanya ingin kembali ke masa itu untuk menyempurnakan peristiwa. Aku lebih suka momen monoton sehari-hari, momen rutinitas sehari-hari yang tak menuntut begitu banyak kesempurnaan dan kepuasan batin. Yeah... aku memang seperti ini.

Tuesday 1 August 2017

Fiksimini #5 : Semakin Absurd

@aiobiobi

HUJAN SEBATANG KARA.
Tadi malam serintik hujan menghampiri. Dia bilang rombongannya hilang diculik angin.

PADA DAUN.
Aku titipkan nasibku pada sehelai daun yang kutemui di jendela kamar. Terserah mau ia bawa kemana. Entah hilang terbawa angin atau mati terinjak kaki.

PENJAJA WAKTU.
Sekarang ini semua serba dijual. Tadi pagi aku melihat penjaja waktu. Berkeliaran di jalan membawa kantung-kantung angka. Katanya, kau bisa menambah jam untuk hari ini.

GANGGUAN.
"Nikmati saja." Ayah berujar santai ketika aku protes dengan layar televisi yang menayangkan parade semut setiap hari.

AKTING.
Ekspresinya alami sekali ketika rantai besi menjerat lehernya. "Cut!" Para Kru bergegas melepas rantai yang dipenuhi bercak merah.

DEPRESI.
Gadis itu tersenyum samar. Cutter di atas meja yang selama ini ia hiaraukan, kini lebih menarik perhatian.

NYAMUK.
Wangi darah selau menjadi topik perbincangan di akhirat.

VIDEO.
Ia baru beranjak bangun saat persediaan tisu di sampingnya habis.

APLAUSE.
Tirai sudah tertutup. Pertunjukan kali ini dipenuhi sesak dan sesal yang memenuhi bangku penonton.

POSESIF.
Tidak. Aku tidak membencimu. Aku hanya ingin mengawetkanmu dalam peti kaca yang kusiapkan.

TAK BERGERAK.
Mungkin dia terlalu lelah, setelah jantungnya aku awetkan tadi malam.

DALAM KEPALA.
Awan itu kembali datang. Menjemputku menuju negeri fatamorgana.

DENDAM.
Dia menangis melihat pisau yang ia pegang meleset dari dada temannya.

LEPAS.
Tengkorak itu berjalan terseok seok, memangku kepalanya sendiri.

PAGI.
Ketika semua langkah mengajakmu bercengkrama.

DUNIA KAKU.
Di dunia ini hanya ada saya dan kamu. Anda hanya pengingat ketika saya dan kamu sudah menyimpang terlalu jauh.

DIGITALISASI.
Para pawang ular sedang sibuk. Mereka sibuk belajar ai-ti, katanya ular tangga sudah digitalisasi.
Gomawo~