Segalanya dituntut serba cepat di sini. Dan aku pun begitu. Dituntut untuk terus cepat. Aku memang suka cepat, hanya saja ini berbeda dari cepat yang kuinginkan. Tik tok tik tok. Waktu seolah terus memburu. Apa ia mulai kesal padaku sehingga jalannya semakin cepat saja? Tapi aku tak tau apa yang membuatnya kesal. Apa aku minta maaf saja pada waktu? Siapa tau dia mau memaafkanku dan memperlambat jalannya.
Monday, 26 December 2016
Tuesday, 20 December 2016
Kabar
Selama tiga puluh menit ini, ruangan itu terasa sunyi. Menguarkan kepedihan pada setiap inci ruangan. Menghasilkan senyap yang ia ciptakan sendiri.
Seorang gadis remaja menelungkup lemah pada kasur kapuk lepet usang. Sesekali punggungnya bergetar seiring dengan isak tangis yang terdengar. Bulir air mata terus keluar selama hampir setengah jam ini, membasahi bantal lepetnya yang juga hampir usang.
Sebuah telepon genggam entah keluaran tahun berapa terus berdering hampir setiap lima menit sekali. Namun gadis itu tak menghiraukannya sedikitpun. Ia tetap bergeming dengan air mata yang terus mengalir tak bisa ia hentikan. Otaknya masih memikirkan kabar yang ia terima setengah jam lalu.
Tuesday, 6 December 2016
Bubur Daging
Tanganmu berdarah, aku takut sekali melihatnya. Apa kamu menyelamatkan kucing yang terluka lagi seperti kemarin-kemarin? Aku hanya cemas, kamu tau sendiri kan kalau aku takut darah. Kenapa kamu terus-terusan pulang dengan tangan berdarah sih? Aku hanya… cemas.
Ah iya... aku sudah buatkan bubur daging seperti yang selalu kamu inginkan.
Kamu... kenapa hanya tersenyum saja tanpa berkata apa-apa? Nanti selepas makan kamu ceritakan padaku apa yang terjadi. Oke?
Kamu... kenapa hanya tersenyum saja tanpa berkata apa-apa? Nanti selepas makan kamu ceritakan padaku apa yang terjadi. Oke?
Sunday, 27 November 2016
Di Kerangka Bangunan
Bangunan itu hanya tinggal kerangka, atau mungkin dari dulu memang hanya kerangka tak terselesaikan. Seorang wanita berkebaya kuning berdiri termangu di depannya. Menatap lumut-lumut pada dinding bata yang entah tinggal setengah atau baru terselesaikan setengah. Matanya menerawang. Entah merindukan kenangan masa lalu entah menyesalkan keadaan masa lalu. Ia tersenyum sekilas, lantas tangannya mengeluarkan setangkai bunga mawar kuning dari tas jinjing yang sedari tadi ia dekap. Ia letakkan perlahan mawar yang ia pegang di atas sebongkah batu di tengah kerangka bangunan. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum sebelum langkah kakinya meninggalkan kerangka bangunan berlumut itu.
Wednesday, 16 November 2016
Fiksimini #4 : Bahasa Sunda
@aiobiobi
GUSTI.
Payuneun laut anjeuna nyarios ka abi, "Hayu urang sasarengan ka Gusti Nu Agung."
BEURANG.
Langit ting gorelap hurung. Dor-dar gelap ting gorowok. Ngaramekeun beurang ieu.
REUNGIT.
Niat na mah ameh apet meren, matak nepi ka nyium oge. Ngan anger we meunang panggebugan.
MALIKAN.
Niat na mah rek mere beja, tapi geuning kalah dibere beja. Atuh puguh wen manehna kalah ceurik lolongseran.
SONO.
Manehna kamari maa sampeu ka imah kuring. Ojol-ojol nanya, "Kumaha Damang?"
GUSTI.
Payuneun laut anjeuna nyarios ka abi, "Hayu urang sasarengan ka Gusti Nu Agung."
BEURANG.
Langit ting gorelap hurung. Dor-dar gelap ting gorowok. Ngaramekeun beurang ieu.
REUNGIT.
Niat na mah ameh apet meren, matak nepi ka nyium oge. Ngan anger we meunang panggebugan.
MALIKAN.
Niat na mah rek mere beja, tapi geuning kalah dibere beja. Atuh puguh wen manehna kalah ceurik lolongseran.
SONO.
Manehna kamari maa sampeu ka imah kuring. Ojol-ojol nanya, "Kumaha Damang?"
Saturday, 12 November 2016
Hampir
Hampir. Satu situasi yang selalu memacu jantung berdetak lebih cepat.
Hampir. Tadi hampir saja aku terjebak dalam kubik-kubik tak kasat mata. Ada sesuatu yang menarikku dengan paksa dari kubik ini menuju kubik tak kasat mata. Mungkin kubikku tak terkunci, jadi mereka dengan mudah memasuki dan menyeretku keluar dari kubik ini.
Aku harus cepat-cepat beli gembok untuk mengunci kubikku. Gembok yang kuat dan tahan lama.
Hampir. Tadi hampir saja aku terjebak dalam kubik-kubik tak kasat mata. Ada sesuatu yang menarikku dengan paksa dari kubik ini menuju kubik tak kasat mata. Mungkin kubikku tak terkunci, jadi mereka dengan mudah memasuki dan menyeretku keluar dari kubik ini.
Aku harus cepat-cepat beli gembok untuk mengunci kubikku. Gembok yang kuat dan tahan lama.
Wednesday, 25 May 2016
Fiksimini #3
@aiobiobi
JANJIMU.
Hanya sekejap. Lalu menguap tak berbekas.
MALAS.
Kenpa malam ini kamar mandinya mendadak jauh?
MASIH HIDUP.
Gudangnya kosong. Wanita itu tak ada di sana. Padahal aku baru saja akan memberinya selimut putih.
LELAP.
Tadinya aku ingin mengajakmu lari pagi, tapi aku baru ingat semalam kau berpesta bersama para kecoa yang sekarat.
SEPI.
Semenjak pisau dapurku berlumuran darah, rumah ini menjadi lebih lengang.
MUTILASI.
Anak itu tersenyum, menatap mata yang tergeletak di telapak tangannya.
MARAH.
Aku harus beli cat tembok baru. Dinding rumahku banyak dipenuhi bercak merah.
BURUNG HANTU.
Lelaki itu selalu ketakutan ketika akan buang air kecil.
RACUN.
Aku tersenyum melihat pacarku makan dengan lahap.
TERLALU MANIS.
"Kenapa kakak cantik itu dikerubungi semut?" ujar anak berkuncir dua yang duduk di sampingku.
BOSAN.
Itulah kenapa kata-kataku mulai meracau tak jelas.
MALAM.
Ketika ia datang menyapamu tanpa kamu sadari.
MALAM.
Ketika ia harus menjelajahi gemerlap kota metropolitan.
RUMAH KOSONG.
"Rumah tetanggamu selalu ramai kalau malam hari," ujar temanku ketika pulang menginap selama seminggu.Aku hanya tersenyum kaku.
MALAM.
Aku hanya bisa tertawa melihatmu bersama tumpukan kertas.
MALAM.
Kamu menyapaku dengan belati di tanganmu.
MALAM.
Dia menunggunya pulang di depan lilin temaram.
MALAM.
Dia bersinar memenuhi lembaran kelam dengan keindahan.
BULAN.
Dia berdiri menatap langit. Menyapa Nenek Tua yang asik bercengkrama dengan kucingnya.
PAGI.
Wanita itu bergelung dalam selimut kebisingan.
BAWAH SADAR.
Kamu datang memberiku nyawa.
BIRU.
Kamu mematikan lampu.
JENDELA.
Mata itu terus mengawasiku.
MARAH.
Tanganmu berdarah.
PAGI.
Lelaki itu berjalan tertunduk, menapaki jalanan berlubang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
maafkan keabsurdan ini~
JANJIMU.
Hanya sekejap. Lalu menguap tak berbekas.
MALAS.
Kenpa malam ini kamar mandinya mendadak jauh?
MASIH HIDUP.
Gudangnya kosong. Wanita itu tak ada di sana. Padahal aku baru saja akan memberinya selimut putih.
LELAP.
Tadinya aku ingin mengajakmu lari pagi, tapi aku baru ingat semalam kau berpesta bersama para kecoa yang sekarat.
SEPI.
Semenjak pisau dapurku berlumuran darah, rumah ini menjadi lebih lengang.
MUTILASI.
Anak itu tersenyum, menatap mata yang tergeletak di telapak tangannya.
MARAH.
Aku harus beli cat tembok baru. Dinding rumahku banyak dipenuhi bercak merah.
BURUNG HANTU.
Lelaki itu selalu ketakutan ketika akan buang air kecil.
RACUN.
Aku tersenyum melihat pacarku makan dengan lahap.
TERLALU MANIS.
"Kenapa kakak cantik itu dikerubungi semut?" ujar anak berkuncir dua yang duduk di sampingku.
BOSAN.
Itulah kenapa kata-kataku mulai meracau tak jelas.
MALAM.
Ketika ia datang menyapamu tanpa kamu sadari.
MALAM.
Ketika ia harus menjelajahi gemerlap kota metropolitan.
RUMAH KOSONG.
"Rumah tetanggamu selalu ramai kalau malam hari," ujar temanku ketika pulang menginap selama seminggu.Aku hanya tersenyum kaku.
MALAM.
Aku hanya bisa tertawa melihatmu bersama tumpukan kertas.
MALAM.
Kamu menyapaku dengan belati di tanganmu.
MALAM.
Dia menunggunya pulang di depan lilin temaram.
MALAM.
Dia bersinar memenuhi lembaran kelam dengan keindahan.
BULAN.
Dia berdiri menatap langit. Menyapa Nenek Tua yang asik bercengkrama dengan kucingnya.
PAGI.
Wanita itu bergelung dalam selimut kebisingan.
BAWAH SADAR.
Kamu datang memberiku nyawa.
BIRU.
Kamu mematikan lampu.
JENDELA.
Mata itu terus mengawasiku.
MARAH.
Tanganmu berdarah.
PAGI.
Lelaki itu berjalan tertunduk, menapaki jalanan berlubang.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
maafkan keabsurdan ini~
Saturday, 16 April 2016
Berasal Darimu
Setiap kataku mungkin berasal darimu, menuntunku
dalam setiap gerak, membimbingku bersama nyanyian waktu yang berdentang
Selimut-selimut harap yang dulu kau tuang, membuatku sadar bahwa hidup bukan hanya
sekedar napas
Kau mengajariku bagaimana mengeja waktu, menata
setiap detik yang terpecah, menyusunnya dalam catatan naskah
Kala aku terombang dalam lautan ketidakpastian, kau merengkuhku,
membisikkan mantra-mantra jitu, mengangkat daguku dan menegakkan bahu
Membuatku terperanjat, hidup ini bukan untuk
orang-orang lemah
Kemarin ketika awan mendung datang berkunjung, kau menyambutnya bagai
teman lama lantas asik bercengkrama
Membuatku tertampar bahwa hidup bukan untuk menatap
lara
Sunday, 28 February 2016
Kupu-kupu
Sunday, 14 February 2016
Ikut 'Ngebaperin' Kim Jung Hwan
Kim Jung Hwan benar-benar membuat perhatian saya tersita
selama nonton drama ini. Entah kenapa saya ikutan senyum-senyum sendiri pas
liat Kim Jung Hwan diam-diam suka sama Duk Seon, ikutan sedih juga pas dia liat
Duk Seon sama Taek beduaan. Bikin gereget juga pas ada scene Duk Seon sama Jung
Hwan lagi beduaan, dan bibir ini kembali senyam senyum dengan sendirinya. Aaaaaaaa
Kim Jung Hwan aku padamu dah hahaha.
Friday, 5 February 2016
Ketularan Demam Korea
Sepertinya akhir-akhir ini saya mulai ketularan demam korea.
Ternyata drama-drama korea itu mengandung nikotin yang membuat penikmatnya
terus ketagihan. Dari beberapa drama korea dan searching tak sengaja di youtube
saya menemukan beberapa artis atau aktor atau penyanyi atau apalah itu yang
sering muncul di ‘tipi-tipi’ korea, yang menarik perhatian saya.
Lee Jong Suk
Pertama liat Lee Jong Suk di drama I Can Hear Your Voice.
Entah kenapa tiap dia senyum di drama itu saya jadi ikutan senyum :3
Kim Woo Bin
Pertama liat Kim Wo Bin di drama Gentleman Dignity.
Tatapannya itu lho >.<
Ryu Jun Yeol
Saturday, 30 January 2016
Malam Ini
"Kamu selalu cantik seperti biasa," bisikmu lirih.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar katamu. Wajahku terasa panas, sepertinya memerah. Kamu tau? Suaramu begitu merdu malam ini. Apa kamu berlatih menyanyi sampai suaramu semerdu itu?
"Saat ini kamu hanya milikku seorang sayang," bisikmu lagi. Lirih. Hampir tak terdengar. Larut bersama kesunyian malam.
Perlahan, tanganmu yang lembut mulai menyentuh wajahku. Ah… sepertinya ada yang beda dengan sentuhanmu malam ini. Tapi mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku hanya sedikit resah, sedari tadi kamu selalu berbisik, kamu tak secerewet biasanya. Apa kamu takut suara merdumu akan hilang jika terlalu banyak bicara?
"Bangsat!"
Aku terlonjak kaget mendengar teriakan seseorang yang mendobrak pintu. Tunggu. Sepertinya aku kenal suara itu.
"Apa yang kau lakukan di sini dengan istriku? Setan kurang ajar!"
Tidak. Bukan kenal lagi. Aku tau betul itu suara siapa. Kugerakkan tangan mencari selimut dan apapun yang bisa menutupi tubuhku. Sial. Aku benci kegelapan.*
Aku hanya bisa tersenyum mendengar katamu. Wajahku terasa panas, sepertinya memerah. Kamu tau? Suaramu begitu merdu malam ini. Apa kamu berlatih menyanyi sampai suaramu semerdu itu?
"Saat ini kamu hanya milikku seorang sayang," bisikmu lagi. Lirih. Hampir tak terdengar. Larut bersama kesunyian malam.
Perlahan, tanganmu yang lembut mulai menyentuh wajahku. Ah… sepertinya ada yang beda dengan sentuhanmu malam ini. Tapi mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku hanya sedikit resah, sedari tadi kamu selalu berbisik, kamu tak secerewet biasanya. Apa kamu takut suara merdumu akan hilang jika terlalu banyak bicara?
"Bangsat!"
Aku terlonjak kaget mendengar teriakan seseorang yang mendobrak pintu. Tunggu. Sepertinya aku kenal suara itu.
"Apa yang kau lakukan di sini dengan istriku? Setan kurang ajar!"
Tidak. Bukan kenal lagi. Aku tau betul itu suara siapa. Kugerakkan tangan mencari selimut dan apapun yang bisa menutupi tubuhku. Sial. Aku benci kegelapan.*
Monday, 25 January 2016
Lihat Kebunku Penuh dengan Bunga~
Lihat kebunku penuh dengan bunga
Ada yang putih, dan ada yang merah
Setiap hari kusiram semua
Mawar melati, semuanya indah~
Sepertinya lagu itu kali ini pas dengan keadaan di halaman
depan rumah saya. Yah, meski ga ada bunga melatinya, tapi banyak bunga yang lain. Pas pulang (mungkin bisa disebut mudik juga) ke rumah kemarin, seneng banget liat depan rumah
banyak ditumbuhi bunga-bunga bermekaran :3
Saturday, 16 January 2016
Cerpen : Hari Ini Hari Senin
Ruangan ini sedikit berisik. Sepupuku Riko dan Dimas dengan perbedaan umur layaknya ayah dan anak sibuk berdebat membahas buku cerita. Entah di bagian apanya yang mereka perdebatkan. Adikku sibuk dengan ponsel di atas kursi, remaja tanggung itu akhir-akhir ini selalu sibuk dengan ponselnya, aku tak tau apa yang membuatnya begitu terpikat pada layar ponsel, mungkin dia sudah punya pacar, entahlah. Ayu teman sekelasku sedari tadi masih berkutat dengan laptop, mengejar deadline jadwal sidang yang sebentar lagi akan berakhir. Aku sendiri hanya menuliskan sebagian pikiran absurdku pada kertas bekas, yah sebenarnya tak ada hal penting yang kulakukan saat ini. Hanya ikut berkumpul dengan mereka.
“Dateng lagi tuh anak. Ngapain dia? Bukannya kemarin katanya mau balik ke Jakarta?” Komentar Ayu langsung membuatku mengalihkan pandangan ke arah pintu luar yang terbuka, memperlihatkan halaman depan rumah.
Deva, remaja tanggung seumuran Adikku berjalan memasuki halaman rumah dengan senyum terkembang di bibir. Bocah yang aku tau masa-masa dia masih pake popok itu tumbuh menjadi remaja tinggi, dan sedikit 'genit'.
“Hai Kak Ayu,” sapanya begitu memasuki ruangan, melambaikan tangan seraya tersnyum seolah dia selebritis.
“Maen hape mulu lu Ras.” Pandangannya beralih pada Adikku yang sibuk berkutat dengan ponsel sedari tadi. Adikku hanya menoleh sebentar, lantas kembali sibuk dengan layar ponsel.
“Halo sayaaaang.” Ia mengerlingkan mata genitnya ke arahku yang langsung membuatku mengerutkan kening.
“Ih si sayang ga jawab panggilan aku,” katanya pura-pura merajuk.
“Sayang apaan? Ga sopan.” Aku mendongak menatapnya yang hendak duduk di sampingku.
"Aku jauh-jauh balik lagi dari Jakarta ke sini cuma buat nemuin kamu doang lho Yang. Masa ga dianggep sih." Remaja tanggung itu pura-pura merajuk, mempoutkan bibir yang malah membuatnya mirip orang kebelet. "Aku tuh masih kangen tau sama Kak Kiran-ku yang imuuut," ujarnya dengan nada manja sembari menubit pipiku.
“Aku simpen makanan dulu ya,” ujarnya kemudian seraya berjalan menuju dapur, membawa bungkusan yang sedari tadi ia jinjing. Dan aku hanya bisa melongo.
“Tuh anak kerasukan apaan ya,” gumamku pelan.
“Yaaaaang aku bawain kue kesukaan kamu lho. Mau ga?”
Pranggggg!
Suara piring pecah membuatku tersentak. Perlahan aku membuka mata. Kulihat atap kamar yang gelap sedikit remang-remang. Aku mengerutkan kening bingung, lantas duduk sembari mengucek mata yang masih lengket karena kantuk.
“Kenapa aku bisa mimpiin anak SMA yang suka sama aku? Siapa lagi tuh Si Deva. Perasaan aku ga kenal yang namanya Deva,” batinku bingung. Tanganku bergerak meraih ponsel di ujung kasur. Jam empat pagi.
“Tau dah,” batinku tak peduli. Aku bangun dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar, mengambil handuk, lantas menuju kamar mandi bersiap untuk berangkat kerja. Hari senin biasanya jalanan macet, aku harus berangkat lebih pagi.*
Sunday, 10 January 2016
Perempuan Plin-plan dan Anak Kucing
Akan kuceritakan padamu tentang Perempuan plin-plan tak tau
diri. Dia siapanya aku? Yah… hanya seseorang yang kukenal. Dia itu perempuan
terkikuk yang pernah kutemui. Dia juga sering membuatku malu karena keputusan
plin-plannya. Suatu hari ada seorang Kakak menitipkan anak kucing padanya. Katanya
ia hanya perlu menjaganya selama setahun. Awalnya ia menolak, tapi hanya karena
beberapa kata petuah dari Kakak itu akhirnya ia bersedia.
“Menjaganya selama setahun, mungkin tak seseram yang kubayangkan?”
ujarnya saat itu.
Setelah Kakak itu pergi menitipkan anak kucing padanya, Si Perempuan
ini langsung merasa tak yakin. “Kenapa aku menerima anak kucing ini padahal aku
tak tau cara merawat kucing? Bahkan aku tak pernah merawat binatang sekalipun,”
benaknya saat itu kala menjelang tidur. “Mungkin besok aku bisa minta bantuan
teman-teman,” pikirnya kemudian. Dia akhirnya tertidur lelap setelah pikiran
plin-plannya tersingkirkan sesaat.
Esoknya dia memawa anak kucing itu pada temannya, berharap
temannya ada yang mau merawat anak kucing itu untuknya. Tapi setelah bertemu
beberapa temannya, mereka semua memeberikan wejangan bahwa itu tanggung
jawabnya. Temannya berkata bahwa Si Perempuan itu yang harus merawatnya bukan menyerahkannya
pada mereka. Yah... memang benar itu tanggung jawabnya. Mendadak ia menjadi selalu
gusar setiap membayangkan harus merawat anak kucing. Bagaimana jika ia mati di
tangannya? Bagaimana jika terjadi hal-hal lain yang menyakiti si anak kucing?
Ia semakin tak yakin bisa melakukannya.
“Mungkin aku harus serahkan lagi anak kucing ini pada Kakak
itu.” Akhirnya pemikiran menyerah itulah yang menjadi penutup keplin-planannya.
Esoknya dia bilang pada Kakak itu bahwa ia tak bisa merawat
anak kucing titipannya. Dia bahkan menelantarkan anak kucing itu tanpa
memberinya makananan hanya dengan alasan ia tak bisa merawat anak kucing.
“Ah… sesal itu memang selalu datang belakangan. Setidaknya
aku harus meminta maaf dengan benar. Kakak itu pasti jengkel sekali padaku,” ujar
Si Perempuan ketika selesai membaca tulisan yang ia ketik dua tahun lalu.
Saturday, 2 January 2016
Flower Boys Next Door
Ada yang pernah liat drama Flower
Boys Next Door? Saya suka bangeeeet episode pertamnya, pas scene yang ini :3
Dari drama ini juga saya jadi
mulai seneng buat nulis lagi. Meski sebenernya cuma nulis beberapa kata doang sih -_-
Subscribe to:
Posts (Atom)
Gomawo~